Duapuluhenam

537 14 0
                                    

Selamat Datang Di Duniaku.

Jangan Lupa Vote dan Komen.

Selamat Membaca!

.

.

.

Perjalanan Arun dan Akbar memerlukan waktu sekitar hampir dua puluh menitan karena jalanan sore ini yang lumayan macet. Mereka menggunakan kendaraan masing-masing. Sepeda motor Arun melaju lebih dulu dan diikuti oleh Akbar dari belakangnya.

Saat sampai di Cafe, Arun sengaja memarkirkan motornya didepan Cafe karena berpikir akan mampir sebentar saja. Arun menurunkan standar motornya lalu melepas helm dan menempatkannya di kaca spion motor.

Hal pertama Arun bisa lihat adalah hanya ada dua orang cewek yang sedang duduk berdampingan namun didepannya terdapat laptop. Sepertinya mereka sedang mengerkan sesuatu karena terlihat sangat fokus dan tidak mengobrol.

Arun langsung menengok saat pundaknya ditepuk oleh Akbar, "Run? Ayok masuk" ajak Akbar.

Arun menoleh lalu menatap Akbar, "iya" balas Arun sekenanya.

Arun berjalan perlahan, kali ini dia berada di belakang Akbar. Namun didalam hati Arun, dia sangat merasa iba melihat keadaan Cafe yang dulu dijadikan sebagai tempatnya mencari rezeki harus berada di titik ini kembali.

Namun berbeda kali ini, Arun lebih merasa sesak karena ini berkaitan dengan Bio. Dimana itu merupakan masalah suaminya, berarti menjadi masalah Arun juga.

"Bang" Akbar memanggil Dimas dan Erik yang tengah duduk tidak jauh darin mereka saat ini.

"Udah balik lo?" tanya Dimas sambil berdiri meletakan sebuah map berwarna biru diatas meja kasir.

"Liat aku sama siapa" ujar Akbar sambil menyingkir dari posisinya saat ini.

Arun yang bertatapan langsung dengan Dimas dan Erik langsung tersenyum getir. Karena entah perasaan apa yang tiba-tiba muncul saat menatap mata Dimas dan Erik secara bergantian.

"Arun?" panggil Dimas sambil melangkah menghampirinya.

"Bang" sapa Arun lalu memeluk Dimas.

"Lo kemana aja? Kenapa lo jarang ke Cafe?" tanya Dimas sambil memeluk Arun.

Belum sempat Arun menjawab setelah melepas pelukan mereka tiba-tiba Erik datang dengan tatapan jahilnya pada Arun, "jatuh miskin lo?" ucap Erik.

Dug!

Arun memukul lengan Erik, "lo mah gak ada romantis-romantisnya bang!" kesal Arun.

"Ya lagian lo baru muncul sekarang. Lo juga dulu gitu kalo lagi banyak uang jarang banget di Cafe, giliran udah abis, bokek muncul terus lo di Cafe" jelas Erik.

"Enggak ya! Gue kalo gak di Cafe emang karena tugas kuliah" bela Arun.

"Ya udah sini, masa lo cuma peluk Dimas aja" ucap Erik sambil merentangkan kedua tangannya.

Arun yang melihat itu langsung berhambur dalam pelukan Erik sambil tersenyum bahagia. Bagaimana pun Erik tetap abangnya yang terbaik.

WHY ME?//WHY NOT?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora