Chapter 10: What?

1.2K 144 6
                                    




"Besok?!" Seruan itu keluar dengan kompak dari mulut Amaya dan Jonas.

"Masa iya, besok banget, Pak?" Amaya protes.

"Itu kayaknya kecepetan." Jonas mendukung Amaya. Lelaki itu menatap ke arah orang tuanya, lalu berganti menatap bapak dan ibu Amaya. "Terlalu cepat malah. Apa nggak nunggu pas bapak sudah keluar rumah sakit aja?"

"Secara agama dulu aja, Jo. Surat-suratnya sambil jalan. Nanti, kalau Pak Firman sudah mendingan, kita adakan resepsi," timpal papi.

"Emang se-urgent itu harus cepat-cepat?" Amaya masih tidak terima.

Para orang tua malah seperti memanfaatkan momen sakitnya bapak untuk memenuhi keinginan mereka, menikahkan Amaya dengan Jonas.

"Urgent banget bagi bapak. Kalau Allah tiba-tiba panggil bapak cepat-cepat, bagaimana?" Omongan sang bapak sungguh membuat Amaya kesal.

"Bisa nggak sih, bapak nggak mikir sampai sana. Bapak aja masih lancar ngomong." Akhirnya gadis itu menggerutu. "Jangan negatif gitu pikirannya, harus yakin bisa sembuh."

"Yaya, jangan ngomelin bapak kamu begitu," ibu menegur.

Memang, bapak kena serangan stroke. Namun, bicaranya masih jelas. Hanya saja, tangan dan kaki sebelah kirinya sulit untuk digerakkan. Gara-gara hal ini pula, dokter mendapati ada ketidaknormalan pada jantung bapak.

"Sesuatu yang baik itu, memang akan lebih bagus dikerjakan segera, Nduk." Mami Jonas ikut berkomentar.

Rasanya, Amaya terpojok. Apalagi, Jonas tidak lagi ikut menyalak. Sungguh, gadis itu ingin mengatai Jonas sebagai lelaki lembek penakut. Iya, gara-gara terlalu menuruti orang tuanya.

Tatapan gadis itu pun beralih pada sosok sang adik lelaki yang sejak tadi duduk di pojok kamar rawat, menyimak para tetua.

"Nggak usah senyum gitu kamu, Juan." Kekesalannya akhirnya ditumpahkan pada sang adik.

"Sudah, sudah. Amaya sama Juanda pulang aja. Besok kesini lagi. Juan, kamu bawa mobilmu ke bengkel, terus Yaya, istirahat." Akhirnya ibu membuat keputusan sebab hari mulai petang.

"Baik kalau begitu, kami juga mau pamit." Mami dan papi beranjak dari tempat duduknya. "Jonas, barengan sama Yaya dan Juan, ya." Mami berpesan.

Lelaki itu mengangguk. Ia juga ikut berdiri tatkala melihat Amaya dan Juanda juga bergerak untuk keluar ruang perawatan.

"Saya pulang ya, bu, pak," lelaki itu giliran pamit. Ia mencium tangan ibu, lalu ayah.

"Jo, jangan lupa hafalkan untuk akad nikah besok," bisik bapak.

Jonas bingung harus merespon bagaimana. Sejujurnya, ia juga merasa ini terlalu cepat. Persetujuan untuk menikah saja baru diputuskan lima belas menit yang lalu setelah diskusi melelahkan bersama Amaya.

Ia pun mengangguk kecil sebagai respon. Bagaimanapun, Jonas dan Amaya tidak bisa mundur. Papi sudah menghubungi temannya yang orang KUA untuk membuat janji pada penghulu. Meski surat-surat masih dalam proses, tetap saja pihak KUA perlu tahu adanya sebuah pernikahan. Melalui koneksi papi, urusan administrasi akan berjalan lancar.

Suasana pun hening begitu Jonas, Amaya, dan Juanda, berada di dalam mobil pajero hitam yang selalu jadi tunggangan favorit Jonas. Terang saja, mobil itu kan kebanggaan sang lelaki karena membelinya dengan uang sendiri.

"Cie... besok sah." Tiba-tiba Juanda berceletuk. Mulut usilnya seolah tidak tahan untuk mengganggu dua orang di depannya.

"Shut up, Juan. Jangan rusak mood aku," ujar Amaya dengan nada bicara begitu dingin.

Love Over HateWhere stories live. Discover now