[12] - When The Answer Has Come?

412 51 0
                                    

Tidur Bastian di akhir pekan terganggu dengan suara bising yang berasal dari arah dapur. Matanya terpejam, namun indra pernapasannya masih berfungsi dengan baik, menghirup aroma gurih tumisan bawang beradu dengan rempah-remah yang sontak membuatnya tersadar.

Bastian menoleh, menatap jam weker yang berada di atas nakas. Pukul 8 pagi. Yang berada di dapur pasti bukanlah Bik Tuti, asisten rumahnya, karena wanita berusia 50 tahun akhir itu sudah meminta izin kepada Bastian kemarin untuk memani persalinan anaknya. Bastian menghirup aroma wangi masakan itu dalam dalam. Wangi masakan yang tercium familiar. Oh...Bastian bisa menebak siapa yang mengacak-acak dapurnya di pagi hari seperti ini.

"Morning, Ma," Bastian memasuki dapur setelah mencuci mukanya sebentar. Sesuai dugaannya, Maminya berada di dapur terlihat fokus dengan alat masak di hadapannya.

"Anak Mama udah bangun ternyata. Makan dulu, Mama buatin ayam mentega kesukaan kamu."

Bastian mengangguk, dia berjalan menuju kulkas mengambil botol air minum dan meminumnya dalam sekali teguk.

"Mama jam berapa datang ke sini?" tanya Bastian saat berada di meja makan.

"Mama nggak liat jam tadi. Rencananya sih Mama ada kelas yoga hari ini, tapi gagal karena instrukturnya sakit yaudah Mami putar arah buat ke rumah kamu," Mami mengangkat tangannya. "Sini piring kamu, Bas."

Bastian menyerahkan piringnya. "Tapi nggak biasanya Mama datang sepagi ini."

Mama tergelak, seolah Bastian bisa menebak isi pikirannya. "Ya, kan apa salahnya Mama berkunjung ke rumah anak Mama yang paling ganteng ini."

Bastian mengedikkan bahu, mulai menyantap makannya dalam diam.

"Enak?" tanya Mama.

Bastian mengangguk. "Enak kok."

Mamanya bukan tipikal Ibu yang hampir tiap hari menghabiskan waktunya di dapur untuk memasak. Namun, Bastian mengakui masakan Mamanya selalu enak. Dulu, saat Papanya masih ada, Mama akan memasakkan mereka masakan rumahan yang resepnya beliau dapatkan dari internet. Hampir semua masakan Mamanya terasa enak, namun tak jarang juga berakhir gagal. Papa dan Bastian akan berusaha menghabiskannya, agar Mamanya tidak merasa kecewa.

Bastian tersenyum simpul saat kenangan indah itu muncul sekelabat di ingatannya.

Semenjak Papanya meninggal tiga tahun lalu, Bastian hampir tidak pernah merasakan hal itu lagi. Terlebih lagi, Bastian dan Mamanya sudah tinggal terpisah.

"Gimana dinner-nya bareng Raline? Dia anaknya kayak gimana, Bas?"

Bastian sudah menduga kedatangan Mamanya di pagi hari pasti ada kaitannya dengan kencannya dengan Raline semalam.

"She is kind," jawab Bastian sambil menyendok makanannya masuk ke mulut.

"Masa cuman baik sih, Bas?"

"Dia juga teman bicara yang baik," jawab Bastian, lagi.

"Dia masuk ke tipe wanita idaman kamu nggak?"

Bastian menghentikan aktivitas makannya sejenak. Sejujurnya, Bastian tidak memiliki kriteria tertentu untuk menyukai seorang wanita. Mungkin ada beberapa hal yang bisa membuatnya tertarik, namun hal ini tidak bisa diterapkannya ke semua wanita. Jika Mamanya bertanya apakah Raline tipe wanita idealnya, Bastian tidak bisa menjawab hal itu. Namun, apakah Raline wanita yang bisa membuatnya nyaman, Bastian akan manjawab tentu saja. Tapi, itu semua tidak berarti apapun saat hatinya bahkan belum siap memulai hubungan baru dengan wanita lain.

"Raline anaknya baik, Ma. Tapi, Bastian ngerasa nggak bakal cocok sama dia," jawab Bastian, akhirnya.

Senyum sumringah di bibir Mamanya pudar seketika. Tatapannya menjadi pias.

Blessing in DisguiseOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz