[8] - When She Finds a Hope?

435 67 0
                                    

Berbekal informasi yang didapatnya dari Tari, Abi bertekad mencari rumah Bang Panji, salah satu kenalan lama eyangnya. Situasi Abi cukup sulit saat ini. Tabungannya sudah habis, namun berminggu minggu setelah pemecatannya, Abi belum juga mendapatkan pekerjaan. Abi tentu tidak akan gundah gulana seperti ini, jika dia hanya hidup sendiri. Dia mati karena kelaparan pun, dia akan menerimanya dengan ikhlas. Namun, di sisi lain ada Shilla yang hidupnya bergantung kepadanya. Abi tidak sanggup melihat Shilla setiap hari hanya makan mie instan karena uangnya hanya cukup untuk membeli itu. Abi boleh menderita, tapi adiknya jangan. Bang Panji mungkin satu-satunya orang yang bisa menolongnya saat ini.

"Titiknya berhenti di sini kan, Neng?" Tanya driver ojek online di depannya.

Abi memeriksa kembali catatan di tangannya. Karena dia tidak memiliki ponsel, Tari harus menuliskan alamat Bang Panji pada sebuah kertas. Saat akan memesan ojek online pun, dia harus meminjam ponsel Tari. Sungguh malang sekali nasibnya.

"Iya, benar, Pak," jawab Abi, akhirnya.

"JL. Nusa Kenangan No.20," Abi membaca ulang dalam hati.

"Berapa, Pak?" tanya Abi, lagi.

"90 ribu, Neng," jawab bapak

Abi mengeluarkan selembar uang 100rb di dalam dompetnya. Uang terakhir yang dimilikinya. Jika nanti dia juga belum mendapatkan pekerjaan. Abi tidak tahu harus bagaimana lagi.

Setelah mengambil uang kembaliannya, Abi berjalan mendekat ke rumah yang bernomor 20, terlihat dari sebuah papan yang tertempel di tembok pagarnya. Rumah itu tidak begitu besar, berukuran sekitar 6×14 m. Dindingnya berwarna hijau dengan beberapa material yang sudah terkelupas. Jika dilihat dari luar, rumah ini seperti tidak berpenghuni. Daun mangga kering yang berhamburan di teras seolah tidak pernah tersentuh. Debu yang menumpuk di atas kursi teras semakin memperkuat dugaan itu. Apakah benar ini rumah Bang Panji seperti yang dibilang Tari?

Abi mendekat ke arah pintu. Tangannya tergerak mengetuk pintu. Namun, hingga ketukan ke lima, tidak ada tanda-tanda seseorang akan muncul dari dalam rumah.

Abi menghela nafas, merasa bingung dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia tidak mungkin pulang dengan tangan kosong, di saat uang di dompetnya sudah terkuras habis.

"Cari siapa, Neng?" Abi menoleh saat mendengar suara muncul dari arah belakang. Wanita berusia 40 tahunan, dengan sebuah daster polkadot yang melekat di tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebuah kantung sampah berukuran besar.

"Saya mau nanya. Benar ini rumahnya Bang Panji?"

Ini saat yang tepat bertanya siapa pemilik rumah ini, pikir Abi.

"Iya, ini rumahnya si Panji. Ada apa Neng nyariin si Panji?"

Abi menghela nafas lega. Dia tidak salah alamat.

"Ada yang mau saya bicarakan sama Bang Panji, Bu. Kalau boleh tahu Bang Panji ke mana ya? Saya ketuk pintunya dari tadi, tapi nggak ada orang."

"Si Panji kalau jam segini emang nggak pernah di rumah, Neng. Paling ntar sore baru pulang. Mungkin Eneng bisa datang lagi nanti."

Abi tersenyum kaku. Uang di dompetnya tidak akan cukup untuk memesan ojek online untuk mengantarkannya kembali ke sini.

"Saya tunggu di sini aja, Bu," jawab Abi.

Wanita di hadapannya mengangguk-angguk. "Ya, udah. Saya pergi dulu kalau gitu, Neng."

Abi balas mengangguk. "Makasih, Bu."

Abi mengistirahatkan kakinya sejenak pada kursi teras di hadapannya. Jika Bang Panji akan pulang saat sore, itu berarti abi harus menunggu kurang lebih dua jam lagi. Ini tidak seberapa dibanding harus pulang dengan tangan kosong.

Blessing in DisguiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang