[11] - When She Confuses The Thing?

422 49 0
                                    

Setelah seminggu bekerja, Abi sudah bertemu banyak tipe-tipe pengunjung. Ada beberapa dari mereka yang terkesan cuek, namun tetap sopan jika berurusan dengan pegawai rendahan seperti dirinya. Ada juga yang terkesan ramah, namun melaporkannya kesalahan kecil yang Abi perbuat kepada manajernya di belakangnya.

Seperti waktu dirinya melayani salah satu pengunjung wanita berusia 40 tahunan. Awalnya pengunjung itu bersikap ramah padanya, namun saat Abi salah memberikan pesanan es teh manis yang seharusnya adalah es teh tawar, pengunjung itu bahkan memarahinya habis-habisan di depan pengunjung lainnya. Abi mengakui dirinya memang salah, namun dia tidak menyangka kesalahan yang dia perbuat akan menjadi panjang seperti ini.

Ada juga pengunjung yang awalnya terkesan sinis padanya, namun saat Abi sekali lagi salah memberikan pesanan. Pengunjung itu tetap menerimanya tanpa memberikan protes apapun.

Namun, ada satu tipe pelanggan yang benar-benar mengganggu pikirannya. Abi tidak melakukan kesalahan apapun. Abi juga berusaha melayani pelanggan itu seramah mungkin. Tapi, mengapa pelanggan itu terlihat sangat marah padanya. Abi mencoba berpikir keras apakah dia pernah bertemu dengan pria berambut berambut cepak tadi. Barangkali Abi pernah berbuat kesalahan pada pria itu sebelumnya. Namun, hasilnya nihil. Dia sama sekali tidak mengenal pria itu.

Abi bahkan bisa merasakan tatapan tajam pria itu yang mengikuti gerak geriknya tadi saat Abi membawa buku menu ke meja lain. Dan saat pandangan mereka tanpa sengaja bertemu, pria itu secepat kilat mengalihkan pandangannya.

Apa yang sebenarnya pria itu inginkan?

Abi bisa sedikit bernafas lega ketika pesanan meja pria itu telah selesai, Mba Dian menggantikan tugasnya sehingga dia tidak bertemu lagi dengannya.

"Mba pulang dulu ya, Bi."

Abi menoleh, menatap Mba Dian sambil membereskan beberapa barangnya. "Hati-hati, Mba."

Sudah jam 10 malam. Sudah waktunya bagi Abi dan karyawan Green Plate lainnya untuk pulang. Hari ini cukup sepi dibanding biasanya. Hanya ada beberapa pasangan yang sudah memesan tempat untuk fine dining.

Segurat senyum di bibir Abi muncul seketika saat dirinya memegang lipatan kertas berisi gajinya untuk bulan ini. Abi memang meminta keringanan agar gajinya untuk bulan ini diberikan lebih awal. Untungnya, Pak Didit, manager restonya, menyetujui hal itu. Abi sudah tidak sabar pulang ke rumah dan membelikan Shilla makan malam yang enak.

Setelah memastikan semua lampu sudah padam, Abi menutup pintu restoran dengan kunci cadangan yang dimilikinya. Samar-samar Abi mendengar sahut sahutan Pak Tejo dan Pak Ardi, security resto yang nampaknya sedang menikmati tontonan bola pada layar TV yang hanya berukuran 12 inch itu.

Abi tersenyum kecil. Standar kebahagian setiap orang memang berbeda. Seperti Abi yang bahagia setelah menerima gaji pertamanya untuk bulan ini, serta Pak Ardi dan Pak Tejo yang bahagia karena masih bisa menikmati acara bola favoritnya. Dan secuil kebahagiaan itu nampaknya menjadi alasan untuk bisa bertahan hidup.

Abi berbalik, hendak melanjutkan kembali langkahnya. Namun, belum sempat Abi melangkah, dia merasakan tarikan kuat di lengannya. Abi memekik tertahan, berusaha melepaskan tangannya yang terkurung sebuah lengan kekar. Dadanya naik turun, ketakutan. Nafasnya memburu. Di bawah lampu jalan yang remang remang, sosok itu membalikkan badannya.

"Kamu...?" Mata Abi membulat melihat siapa sosok di hadapannya. Posisi mereka begitu dekat sehingga Abi bisa merasakan deru nafas pria itu mengenai kulitnya. "Apa yang kamu lakukan?"

"Kamu tidak mengingatku?" Rangkulan pria itu pada lengan Abi terlepas. "Sorry, saya tidak bermaksud menakutimu. Tapi, kamu benar-benar tidak mengingatku?"

Raut wajah ketakutan Abi seketika berganti menjadi kebingungan. Bukankah pria itu adalah orang yang ditemuinya di restoran tadi?

"Saya adalah orang yang menyelamatkanmu waktu itu."

Deg!

Bulu kuduk Abi meremang seketika. Sewaktu kecelakaan itu, Abi tidak mengingat siapapun yang berada di lokasi kejadian. Ingatan terakhirnya adalah ada sosok hitam yang menariknya saat kejadian naas itu. Bahkan saat itu, Abi mengira sosok hitam tersebut adalah malaikat maut yang akan mencabut nyawanya bukan sosok pria tampan seperti di hadapannya saat ini.

Pria itu adalah sosok yang menolongnya waktu itu....

Itu berarti...?

"A-pa...yang kamu inginkan...?" tanya Abi, terbata-bata.

"Hey, calm down. Are you scared of me?"

Abi takut. Abi takut jika pria itu meminta balasan atas pertolongannya waktu itu.

"Wow.... Saya tidak tahu akan mendapat reaksi seperti ini." Pria itu tersenyum sarkas.

Abi membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, namun dia mengurungkan niatnya.

"Tidak ada yang ingin kamu katakan kepada saya?" Pria itu melipat tangannya di depan dada. "Bukankah saya yang menyelamatkan nyawa kamu waktu itu?"

"Kamu...mau...uang?"

Abi mengernyitkan dahi, bukannya menjawab pertanyannya pria di hadapannya malah tertawa terbahak-bahak.

"Kamu kira saya minta uang kamu?" tanya pria itu masih setengah tertawa.

"Ka-mu yang menolong saya, bukan?"

Pria itu mengangguk.

"Ka-mu juga yang membawa saya ke rumah sakit?"

Pria itu mengangguk lagi.

"Bukankah kamu membutuhkan imbalan atas perbuatanmu?"

Pria itu mengernyit, sambil menunjuk wajahnya. "Apakah wajah saya terlihat seperti orang yang membutuhkan uang?"

Abi menggeleng cepat. Abi sempat memperhatikan pakaian yang menempel pada tubuh pria itu tadi. Polo shirt abu Ralph Lauren serta sneakers hitam Loro Piana yang digunakanya bahkan lebih mahal dibanding gajinya sebulan.

"Lalu...apa yang kamu inginkan?" tanya Abi, lagi. Jika pria itu tidak menginginkan uang, dia pasti menginginkan hal yang lain, bukan?

Pria itu terdiam. Matanya menelisik, seperti sedang memeriksa sesuatu. "Apa lukamu baik-baik saja? Kamu pergi saja waktu itu padahal kondisi kamu belum pulih."

Abi terkejut. Tentu saja, membuat mulutnya setengah terbuka. Pria itu menariknya secara paksa dan membawanya ke sudut taman yang gelap seperti ini hanya untuk menanyakan keadaannya?

"Sa-ya baik-baik saja." Abi memundurkan langkahnya. Berada di dekat pria itu, membuatnya tidak bisa berpikir keras. "A-da apa?"

"Kenapa kamu pergi saat itu?"

Abi menundukkan wajahnya. Haruskah dia menjawab bahwa alasannya kabur saat itu karena dia tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakitnya.

"Saya hanya takut...," jawab Abi, akhirnya.

"Kamu takut pada orang yang menolongmu?"

Abi mengangguk pelan, masih dalam posisi menunduk.

"Saya takut kamu akan meminta uang kepada saya."

"Kayaknya kamu sangat takut kalau saya akan meminta uang kepada kamu," pria itu tertawa lagi.

"Maaf...," balas Abi kemudian mengangkat wajahnya, membuat mata mereka saling bertemu. Mereka saling diam beberapa menit sampai kemudian Abi mengalihkan pandangannya.

"Boleh...saya...pulang...sekarang?" tanya Abi, bingung.

"Oh?" Pria itu memundurkan langkahnya, membuat celah agar Abi bisa berjalan. Saat kakinya hendak melangkah, langkahnya terhenti saat tangan pria itu mencegahnya. "Bisa kita ketemu lagi besok?"

Abi mengernyit, namun karena dirinya tidak ingin membuat ini menjadi semakin lama, dia hanya membalasnya dengan anggukan singkat sambil kembali melangkah.

Apa yang baru saja terjadi?

***

Buat yang agak bingung, part ini khusus pov Abi ya. Harusnya aku up pov Abi duluan dibanding Bastian tapi kelupaan wkwkwk. Btw happy reading, bye love peace and gawl🩷🩷

Blessing in DisguiseWhere stories live. Discover now