[7] - When Was That Time When She Left Me?

490 64 7
                                    

Bastian memegang kemudinya dengan erat. Segurat senyum muncul di sudut bibirnya, mengingat apa yang baru saja terjadi padanya. Bastian hanya berniat mencari makan untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Namun, betapa terkejutnya saat dia kembali, ruang rawat inap tersebut sudah kosong tidak berpenghuni. Dia ingat sekali, wanita itu masih tertidur lelap saat bastian meninggalkannya. Lantas, kemana wanita itu pergi?

Bastian tidak kesal, dia juga tidak butuh ucapan terima kasih. Meskipun seharusnya dia layak mendapatkan hal itu. Come on, dia bahkan mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan wanita itu. Namun, Bastian benar-benar tidak mengerti mengapa wanita itu harus kabur padahal kondisinya bahkan belum pulih.

Setelah mobilnya terparkir di area basement, Bastian melepas seatbalt-nya hendak membuka pintu mobil. Namun, gerakannya terhenti saat matanya melirik sebuah tas selempang yang duduk manis di kursi penumpang sebelahnya.

Bastian menggeleng heran, wanita itu bahkan melupakan tasnya. Bagaimana cara Bastian mengembalikannya jika identitas wanita itu saja tidak diketahuinya.

Sial. Bastian menyugar rambutnya. Mengapa juga dia harus pusing memikirkan orang asing yang mungkin tidak akan ditemuinya lagi. Ditariknya tas itu dan keluar dari mobilnya secepat mungkin.

Bastian mengerjap saat mendapati lampu apartemennya menyala. Matanya menelisik ke sekitar, mendapati sebuah heels setinggi 3 cm tersisip di antara deretan sepatunya.

Bastian menghela nafas. Malam ini nampaknya akan menjadi malam yang panjang.

Mamanya berada di sini.

Tepat saat Bastian memasuki area ruang tamu, dia mendapati Nyonya Renata Januar Maheswara duduk di kursi ruang tamunya. Beliau bangkit dari duduknya begitu melihat penampakan Bastian muncul di hadapannya.

"Ririn bilang kamu habis kecelakaan benar, Bastian?" tanya beliau dengan nada khawatir.

Bastian mendekati mamanya dan menempelkan telapak tangannya di dahi. "I'm okay, Ma. Cuma luka dikit di lengan. Udah dijahit kok tadi."

"Kalau cuman luka dikit nggak mungkin sampai dirawat di rumah sakit, Bastian." Mama menyilangkan tangannya di depan dada, namun raut wajahnya sedikit melunak. "Lagian kamu kenapa nggak bilang ke Mama kalau masuk rumah sakit. Coba aja Ririn nggak bilang, Mama pasti nggak bakal tahu."

Bukan dirinya yang dirawat di rumah sakit. Tapi, wanita itu.

"Bastian nggak bilang ke Mama karena takut Mama khawatir. Lagian Bastian juga nggak apa-apa, Ma. Coba lihat sekarang." Bastian merentangkan tangannya di udara, meskipun dia sempat meringis, merasakan nyeri pada lengannya yang terkilir tadi. "Anakmu ini baik-baik saja, Ma."

Bastian berjalan menuju kitchen set. Tangannya membuka kulkas, hendak mengambil air dingin di sana.

"Ya udah. Berarti besok kamu bisa kan ketemu sama Raline, anaknya Pak Anggara? Kan minggu lalu kamu nggak bisa."

Seketika, Bastian tersedak minumnya. Matanya menatap mamanya dengan horor. "Kayaknya besok juga nggak bakalan sempat, Ma. Bastian lembur sampai malam ada meeting soalnya."

Bastian membalikkan badannya. Mamanya akan tahu dengan mudah jika dia berbohong.

"Bastian!" teriak mamanya dari belakang. "Kamu bohongin Mama ya? Minggu lalu kamu bilang ada meeting, masa minggu ini juga ada meeting."

"Bastian nggak bohong, Ma. Di kantor emang lagi banyak kerjaan. Lagian buat apa juga Bastian bohong ke Mama." Bastian kembali membuka kulkas. Satu botol air nampaknya tidak cukup meredakan rasa hausnya.

"Kamu sengaja begini buat menghindar ketemu sama Raline, kan? Ini bukan pertama kalinya kamu begini, Bastian."

Bastian tidak bisa mengelak. Bebagai alasan yang sering dikemukakannya memang untuk menghindari perjodohan gila yang selalu dilakukan Mamanya. Raline hanya salah satu dari puluhan wanita yang telah diperkenalkan padanya. Namun, beberapa wanita itu tidak ada yang sama sekali menarik perhatiannya. Bukannya Bastian tidak ingin, dia hanya belum siap memulai hubungan baru dengan seseorang.

"Nina akan sedih kalau lihat kamu seperti ini, Nak."

Gerakan tangan Bastian membuka botol seketika terhenti.

"Udah 4 tahun berlalu, Nak." Bastian mendengar nada suara Mamanya yang bergetar. "Nina sudah bahagia di sana. Tapi, coba lihat kamu sekarang. Kamu masih stuck di situ-situ saja."

"Bastian nggak mau bahas hal ini sekarang, Ma."

"Kamu anak Mama satu-satunya. Mama nggak suka lihat hidup kamu seperti ini. Berantakan. Nggak jelas. Pokoknya besok kamu harus mau ketemu sama Raline. Mama nggak mau terima alasan apapun," ucap Mamanya, berlalu meninggalkan Bastian sendirian.

***

Sudah empat tahun berlalu, namun kejadian itu masih membawa trauma mendalam di hidup Bastian. Dunianya seolah berhenti saat kejadian mengenaskan itu menimpanya. Harapan hidupnya sudah menghilang. Seseorang yang membuatnya semangat untuk menjalani hidup pergi meninggalkannya karena kecerobahannya sendiri.

"Aku nggak suka kamu dekat dengan cowok itu!"

Nina menoleh menatapnya. Tatapan teduhnya yang selalu melunakkan Bastian kini nampaknya tidak mempan.

"Alex?"

Bastian mendengkus kesal. Tangannya masih fokus memegang kemudi setir. "I don't know his name and i dont fucking care about his name."

"We're just friends, Bee. Dia tahu kok kalau aku udah punya pacar. Aku masih baru di kantor, jadi nggak punya banyak teman. Temanku di kantor ya cuman Alex."

Penjelasan Nina bukannya menenangkannya malah semakin memantik emosi Bastian. Sebagai sesama pria, Bastian tahu betul arti tatapan yang Alex tujukan pada Nina dan dia benar-benar tidak menyukainya.

"Kamu emang nggak punya teman cewek lain? Kenapa harus sama si Alex Alex itu?" tanya Bastian dengan nada yang lebih tinggi. Suara gemericik air yang mencoba menembus kerasnya kaca mobil semakin menambah riuh suasana.

"Kan aku udah bilang, di kantor temanku cuman Alex. Aku masih anak baru, Bee. Rekan kantorku juga kebanyakan umurnya di atas aku, yang umurnya gak terlalu jauh dari aku cuman Alex, makanya kita nyambung sebagai teman," suara Nina masih terdengar lembut, nama ada beberapa penekanan di sana saat wanita itun menyebutkan kata teman.

"Pokoknya aku nggak mau kamu dekat-dekat sama dia lagi!"

"Kamu kenapa sih, Bas?! Kamu tahu nggak sih, aku paling nggak suka sama sifat kamu yang kayak gini, sering cemburu nggak jelas. Apa kamu kurang percaya sama aku?!

Nina benar-benar marah, Bastian menyadari hal itu saat wanita itu menyebut namanya. Namun, apa boleh buat emosinya sudah benar-benar diujung tanduk.

"Apa percaya sama kamu, tapi aku nggak percaya sama dia!"

"Jadi mau kamu gimana? Kamu mau minta putus?"

"Putus?" Bastian menggeleng tidak percaya. Dia bisa merasakan aliran darah mendesir naik ke wajahnya yang tentunya sangat merah saat ini. Tangannya mengenggam erat kemudi setir membuat urat-urat saraf menguar dari telapak tangannya. "Jadi, kamu milih dia dibanding aku?"

"Terserah!"

"Kamu mau ke mana?" tanya Bastian, melirik tangan Nina yang mencoba meraih handle pintu mobil.

"Aku mau turun! Hentiin mobilnya!"

"Jangan macam-macam, Nina! Di luar hujan deras!"

"Hentiin mobilnya atau aku lompat sekarang juga!"

"Shit," kata umpatan keluar dari mulut Bastian. Tangan kanannya memegang stir, namun tangan kirinya mencoba meraih tangan Nina, menghentikan gerakan wanita itu.

Namun, yang tidak Bastian sadari, ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi yang datang dari arah berlawanan.

"Bastian...!"

Itu adalah terakhir kali Bastian mendengar suara Nina, sebelum sebuah truk melumat mobilnya membuat tubuh Nina terpental hingga beberapa meter.

***

Finally, bab 7 udah update ya guys. Bab ini khusus buat pov Bastian ya. Ada yang ingat gak di cerita married by accident, awal Nara dan Bastian itu ketemu di rumah sakit bareng Rion. Yap, ini waktu Bastian abis kecelakaan🥲

Btw seperti biasa, setelah membaca jangan lupa jempolnya olahraga sejenak buat voment😂👌. Bye, love peace and gawl❤️❤️❤️

Blessing in DisguiseWhere stories live. Discover now