14 • Kesulitan Sebelum Masuk Sekolah

457 45 0
                                    

Suara teriakan memenuhi ruang di Malfoy Manor. Rintihan rasa sakit karena sengatan yang terasa mematikan di sekujur tubuhnya membuatnya seakan-akan ikut meremukan jiwanya.

Draco berguling di lantai marmer hitam yang dingin, berteriak, meraug dan merintih tiada henti. Kilatan sihir yang terus menyambarnya tanpa henti adalah penyebabnya. Sihir hitam, salah satu yang mematikan. Cruciatus.

Narcissa Malfoy hanya sanggup menatap lirih kondisi sang anak, perasaan ingin menggantikan posisi Draco menjadi yang paling pertama ia pikirkan. Tapi Dark Lord berdiri di hadapannya, di hadapan para pelahap maut, serta saudarinya-Bellatrix menahannya seakan Narcissa adalah tahanan.

Kegagalan suaminya membuat mereka terjebak dalam lubang ini. Kondisi menyiksa dan situasi yang rumit. Sementara Lucius terjebak dalam ruang lembab Azkaban, Narcissa dan Draco harus menanggung murka dari sang kegelapan.

Rintihan Draco terhenti, ia terbaring lemah di atas lantai yang dingin. Wajahnya pucat pasih, serta tatapan matanya kosong. Dalam keheningan yang mencengkam, suara langkah kaki terdengar, dan Draco bisa merasakan aura kuat mengintimidasi karena keberadaan Voldemort si sekitarnya.

"Ayahmu telah melakukan kegegalan yang fatal, dan karena saat ini sulit untukku menjangkau keberadaannya, kau, Malfoy junior, akan menggantikan ayahmu."

Pupil Draco bergerak, melirik wajah bak ular yang balik menatapnya tajam. Tenaganya terkuras habis, ia tidak punya kuasa atas dirinya saat ini. Pupilnya kembali bergerak, kini melirik sang Ibu yang menatapnya penuh kekhawatiran. Rasa takut bergerumul, bisa Draco lihat di wajah sang ibu.

"Aku akan memberikanmu tugas penting. Dimana tugas ini hanya bisa dilakukan olehmu--" suara Voldemort mengambang "jika gagal, nyawamu dan orang terkasihmu akan menjadi bayarannya."

Seakan ditarik paksa di bawah titik sambaran petir, pupuil Draco melebar. Ia membelakak terkejut begitupula dengan Narcissa. Namun, sebelum Draco bereaksi lebih jauh, Voldemort lebih dulu merapal mantra, mengangkat tongkat dan menusuk ujungnya ke permukaan kulit di lengan kiri Draco.

Suara raungan keras kembali memenuhi ruangan. Rasanya bagai terbakar, seperti besi panas menyentuh permukaan kulitnya dan mengukir sesuatu di sana. Tanda memerah itu kemudian perlahan menghilang, berubah menjadi garis-garis hitam yang membentuk tengkorak dengan uluar menjulur dari mulutnya, beregak meliuk sampai Voldemort menarik tongkatnya. Sebuah tanpa kegelapan, menjadikan Draco Malfoy resmi menjadi bagian dari anggota pelahap maut malam itu.

"Besok malam pergilah ke borgin and bruke. Ada benda berguna di sana yang pelu kau tau dan gunakan dalam misimu. Lakukan tugas mu dengan baik atau siap untuk menanggung akibat." Voldemort bangkit berdiri, lantas berlalu pergi diikuti sekelompok pelahap maut.

Pegangan Bellatrix pada Narcissa juga perlahan melonggar, sehingga Narcissa kini leluasa bergerak, pergi menghampiri Draco dan mengecek sendiri keadaanya.

Tatapan wanita Malfoy itu langsung tertuju pada tanpa kegelapan di lengan kiri Draco. Noda yang sama seperti yang dimiliki suaminya. Narcissa menutup mulutnya, menahan isakan yang hampir lolos, tapi dari air di pelupuk matanya, siapapun tau, bahwa nyonya Malfoy sedang menangis saat ini. Sesak melihat sang anak satu-satunya, anak kesayangannya harus menanggung beban seberat ini.

Draco masih terlalu muda, sangat kecil, tidak pantas untuk hidup di dunia penuh racun. Narcissa marah, pada Voldemort, pada Pelahap maut, pada Saudarinya dan terutama pada Lucius. Sejak awal, Narcissa tidak pernah setuju jika keluarganya bergabung dengan pelahap maut. Sejak melihat obsessi Bellatrix semasa muda dahulu, Narcissa ketakutan. Apapun yang berhububgan dengan sihir gelap, tidak akan pernah berakhir baik.

Narcissa benar. Kini, akibat keegoisan para orang dewasa yang mementingkan hieraki darah, anak-anak mereka harus menanggung beban dari perang yang tidak tahu akan tunduk pada pihak siapa.

"Mother." Draco memanggil lirih, tangan pucatnya terangkat, menghapus air mata di ujung mata sang Ibu.

Melihat kondisi Draco dan perlakukan yang baru saja ia terima, Narcissa justru lebih sulit menahan tangis "Draco, haruskah kita pergi saja?" Bisik Narcissa, saat ia merangkuh tubuh Draco dalam pelukan.

Awalnya Draco teridam, terpaku atas ucapan sang Ibu. Ia terkejut, sebab ini pertama kalinya sang Ibu menyarankan sesuatu seperti orang yang pengecut.

"Aku sudah menerima tanda kegelapan, Mother."

"Tidak apa-apa. Ibu akan cari cara untuk menghapusnya--"

"Tidak, tidak ada yang bisa." Draco diam sejenak, memandang ke arah lain karena sulit baginya menyaksikan wajah sang ibu yang suram "aku akan melakukannya, tugas yang Dark Lord berikan--"

"Tidak, Draco, jangan gila."

"Aku harus melakukannya, Mother, jika tidak nyawa kita akan direngut. Aku tidak mau itu terjadi."

Draco peduli, menyayangi Ibunya lebih dari apapun. Draco tidak peduli pada perang, tidak peduli pada permusuhan antara Potter dan Voldemort, ataupun hieraki darah yang selalu ayahnya junjung. Sekarang, ia hanya peduli pada dirinya dan ibunya.

"Mother, bisakah Mother menemaniku pergi ke Knockturn Alley besok?" Dengan susuah payah, Draco bangkit berdiri di bantu oleh Narcissa.

Menghela napas berat, Narcissa mengangguk "Ibu akan menemanimu."

Draco mengangguk, senyum tipis yang menyat hati Narcissa terukir singkat sebelum Draco pergi, meninggalkan Narcissa yang masih bergelut dengan banyak pikiran buruk dan rencana rumit untuk menjaga sang anak tetap aman.

"Cissy," panggil Bellatrix. Memegang bahu Narcissa, menarik saudarinya menoleh padanya.

"Draco akan baik-baik saja. Aku tau cara yang bisa kau lakukan untuk melindunginya."

Kini, Narcissa tertarik. Menghadap Bellatrix sepenuhnya untuk mendengar rencana macam apa yang saudarinya itu maksudkan.

To Be Continued

ʟᴏsᴛ ᴀɴᴅ ғᴏᴜɴᴅ ↬ᴅʀᴀᴍɪᴏɴᴇ ✓Where stories live. Discover now