Episode 36-Janji Temu Antara Tiana dan Ibra

282 17 2
                                    

Dengan lunglai sekaligus gontai, Ibra berjalan keluar dari ruang kerja kakaknya. Perutnya memang merasa kekenyangan pasca dipaksa menghabiskan porsi makan siang, tetapi tetap saja, saat ini hatinya justru serasa hampa. Ceramah panjang-lebar dan bagaimana Gillian terus menuntutnya untuk lebih fokus pada pendidikan, membuat Ibra benar-benar lemas tak berdaya. Di saat kompetisi sudah di depan mata, mengapa Ibra harus mendapatkan serangan telak sedemikian rupa? Bahkan kakak yang selalu ia anggap mampu memahami dirinya, kini malah ikut mendesaknya. Memang benar, bahwasanya Gillian tetap mengizinkannya untuk tetap bermusik, tetapi tetap saja, hal itu membuat Ibra cukup tertekan.

Musik dan manajemen bisnis. Dua hal yang tentu saja sangat berbeda. Ibra selalu memimpikan panggung megah yang akan ia pijaki dengan ribuan penonton yang heboh karena aksi panggungnya. Ia sama sekali tidak memedulikan urusan bisnis keluarganya, bahkan rasanya otaknya sudah terlalu tumpul untuk mempelajari segala sesuatu tentang menjalankan perusahaan. Ia sungguh tidak mau hidupnya terkekang pekerjaan sekaligus jerat nafsu keserakahan layaknya sang ayah. Ia ingin menjadi pemusik yang menciptakan banyak karya agung dan menakjubkan. Namun baru melangkah di satu kesempatan yang mungkin akan menjadi terakhir kalinya, ada saja yang menjadi penghalang. Kenapa pula harus dirinya yang diberikan tanggungan, padahal jelas-jelas otaknya tidak sepintar Gillian?!

"Semua ini gara-gara Ayah! Andai Ayah enggak gengsi untuk menerima Kak Hana, semuanya enggak bakalan begini. Kakak bisa bekerja dengan nyaman, lalu aku bisa mengejar mimpiku. Kenapa sih orang tuaku harus seorang Aditama yang keras kepala?!" gerutu Ibra melampiaskan rasa kesal sembari terus berjalan ke arah elevator yang akan membawanya ke basemen—tempat parkir kendaraan.

Sesaat setelah Ibra menghela napas dalam-dalam, pintu elevator yang ia hampiri lantas terbuka. Namun keberadaan seorang wanita yang tidak asing, membuat Ibra tak lantas memasuki fasilitas modern itu sesuai rencana awal.

"Tuan Putri!" celetuk Ibra dengan mata yang sudah melebar. Tak ketinggalan, ia juga menunjuk Tiana yang belum sempat keluar dari elevator tersebut.

Tiana turut kaget dibuatnya. Namun, karena tidak mau terjebak lebih lama di dalam elevator, ia memutuskan untuk keluar lebih dulu sebelum memberikan tanggapan terhadap kehadiran Ibra.

"Bocil!" ucap Tiana yang turut menunjukkan diri Ibra, sehingga ia dan adik kandung Gillian tersebut kini sama-sama saling menuding. "Waaah! Jadi tinggi sekali kamu!"

Ibra tertawa bangga. "Iya, dong! Aku sudah setara dengan Kak Gilli. Bahkan tinggi badan kami benar-benar sama!"

Tiana menatap sosok anak kecil yang kini sudah berangsur dewasa. Postur tubuh Ibra jauh lebih atletis dibanding lima tahun silam, saat di mana ia bertemu Ibra untuk kali terakhir dan itu pun secara tidak sengaja ketika ia sedang berada di salah satu mal. Kalau dilihat-lihat, postur tubuh Ibra memang cukup mirip dengan Gillian. Namun dari segi warna kulit, kulit Ibra cenderung lebih sawo matang dengan parasnya yang terbilang manis sekaligus memikat. Sementara gaya berpakaian Ibra terhitung nyentrik, meskipun tetap modis. Mungkin karena visual Ibra yang lumayan, outfit apa pun yang dipakainya tetap akan membuatnya sedap dipandang.

"Kenapa, Kak? Begitu amat melihatku? Aku gagah ya? Terus ganteng?" ucap Ibra diiringi gerakan memajukan wajah dengan jari telunjuk serta jempol yang ia gunakan untuk menunjukkan wajahnya di hadapan Tiana.

Tiana memberikan reaksi ilfeel terhadap sikap over percaya diri dari anak itu. "Aku hanya kaget saja. Sudah lama kita enggak ketemu, enggak tahunya kamu sudah setua ini," jawabnya setelah itu.

"Tua? Hahaha! Enak saja. Tuan Putri kan lebih tua dariku!"

"Jadi, maksudku aku terlihat sangat tua begitu?!" Tiana berangsur melipat kedua tangannya. "Berhentilah memanggilku Tuan Putri, Bocil! Aku sudah malu dengan panggilan itu, tahu!"

Pernikahan yang Gillian InginkanWhere stories live. Discover now