Episode 15-Ketakutan Aditama Mengenai Keberadaan Rihana

575 28 0
                                    

Kali ini Ajirama yang telah mengantarkan Desia pulang, justru ditahan oleh Aditama, kakaknya sekaligus ayah dari Gillian dan Ibra. Di dalam ruang kerja di rumah keluarga itu, Ajirama diposisikan layaknya seorang tersangka, sementara Aditama bak hakim utama yang tengah duduk di singgasana.

Kemudian, di samping kursi kebesaran Aditama terlihat alat bantu jalan yang berbentuk tongkat panjang. Kondisi Aditama memang mulai menurun sejak setengah tahun yang lalu. Meski begitu, penyakit tua yang diidapnya tak lantas membuat tabiat kejamnya berangsur berubah. Alih-alih memikirkan soal umurnya, Aditama malah bersikap seolah dirinya akan pulih seperti sedia kala. Sebenarnya ia belum benar-benar sepuh. Namun, gaya hidupnya yang terbilang tidak sehat membuat kondisi tubuhnya mulai melemah di usia lima puluh delapan tahun.

"Hebat sekali kamu, Aji. Masih saja ikut campur urusan keluargaku, terutama anakku. Tak kusangka juga, kamu sampai membantu Gilli. Oh, apakah bantuan yang kamu berikan pada anak naif itu memang benar-benar tulus? Ataukah hanya sekadar tipu daya, lalu kamu akan merebut perusahaan itu dan lantas membuang Gilli setelah usahanya semakin besar?" celetuk Aditama begitu sarkastik.

Ajirama menghela napas. Namun alih-alih memperlihatkan sifat cemas, ia justru menunjukkan senyuman sekaligus lengkungan mata sipitnya yang bak bulan sabit. Dan berbeda dengan Aditama yang memiliki gaya hidup tak sehat, Ajirama sangat memperhatikan tubuhnya. Selain gemar berolahraga, ia tidak pernah menyentuh minuman keras ataupun benda kecil yang berasap. Oleh sebab itu, tak heran jika di usianya yang sudah menginjak angka lima puluh lima tahun, ia tetap bugar dan tak sampai selemah Aditama. Dan ya, ia ibarat Sugar Daddy menggiurkan, mungkin juga duda awet muda.

"Jika aku berniat untuk menipu Gillian yang naif, tentu saja aku akan melakukannya sejak lama, Bang. Lihatlah, meski aku memegang kendali dari perusahaan waralabanya, aku enggak pernah sekalipun berbuat curang. Anak yang saat itu begitu naif dalam meminta bantuan padaku, tanpa memikirkan kemungkinan aku akan menggelapkan uangnya itu, nyatanya bisa sukses. Bahkan dia akan mampu berdiri sendiri tanpa harus mewarisi perusahaan Abang. Nyatanya, Gillian memang lebih mirip aku daripada ayahnya sendiri, bukan?" ucap Ajirama lalu tersenyum lagi.

Aditama menggertakkan gigi. Salah satu telapak tangannya yang berada di atas meja kerjanya seketika mengepal. Mau bagaimanapun, ia tetap membenci fakta tentang hubungan kerja sama yang terjalin antara Gillian dan Ajirama. Setelah Gillian menolak jabatan sementara yang ia berikan, termasuk pengakuan Gillian mengenai pembangunan tempat usaha pribadi, Aditama memang telah melakukan penyelidikan. Dan ia sangat kecewa, mengapa ia sampai melewatkan hal penting tersebut, hanya karena terlalu menganggap enteng Gillian selama ini.

Seharusnya Aditama bisa menyadari kemampuan dan kenekatan putranya sedari awal, apalagi Gillian tetap putranya yang memiliki bibit kecerdasan. Dan lagi, keputusan Gillian untuk meminta bantuan dari Ajirama, sepertinya juga bukan keputusan tanpa pertimbangan. Jika anak itu memang pintar dan peka, keberadaan Ajirama sebagai seorang pengusaha properti, pastinya akan membantu langkah awalnya dalam membangun perusahaan. Gillian yang cerdas dan Ajirama yang kelewat baik. Seandainya saja, Aditama bisa lebih peka, maka ia akan menghentikan adanya komunikasi di antara keduanya.

"Jika kamu memang tahu malu, seharusnya kamu segera keluar dari perusahaan Gillian," ucap Aditama.

Ajirama tertawa kecil. "Enggak bisa begitu, Bang. Gillian belum bisa menjalankannya sendiri, karena ayahnya masih ingin memonopoli dirinya," sahutnya sarkastik. "Aku juga tahu Abang hanya akan memanfaatkan Gillian, sampai Ibra mampu untuk duduk di posisi itu, bukan? Lalu, apa lagi? Mungkinkah Abang juga berencana untuk merebut perusahaan kecil Gillian, jika aku keluar? Dan mengusir menantu sekaligus cucu Abang?"

Aditama menatap Ajirama dengan tajam. Tak ia sangkal, siapa pun yang lahir di dalam keluarganya memanglah pintar, kecuali Ibra yang malah bandel dan kerap slengean. Mungkin gen Desia memang lebih kental berada dalam tubuh anak itu. Kemampuan Ibra yang tak seberapa jika dibandingkan dengan Gillian tersebut, akhirnya membuat Aditama tak punya pilihan lain.

Sama seperti yang Ajirama katakan, Aditama memang berencana untuk memanfaatkan Gillian di saat kondisinya sedang sakit layaknya sekarang, sekaligus setidaknya sampai Ibra benar-benar lebih kompeten dalam mengurus perusahaan. Setelah tujuan itu selesai, Aditama tak akan lagi peduli pada putra pertamanya yang sudah sangat keras kepala dan malah memilih Rihana serta anak di luar pernikahan itu. Untuk perusahaan kecil Gillian pun, tentunya Aditama tidak akan membiarkan perusahaan itu kian berkembang.

"Melihat Abang yang justru diam, aku jadi yakin, bahwa semua dugaanku ini memang benar adanya," ucap Ajirama. Kali ini ia tidak menunjukkan senyuman serta tawanya. Detik berikutnya, ia bangkit dari duduknya. "Aku sudah kehilangan keluargaku. Istri dan anakku. Enggak ada lagi hal yang akan menjadi pertaruhanku, sehingga aku akan lebih berani untuk melawan Abang. Dan Gillian, aku juga akan terus membantunya. Setidaknya, meski Gillian adalah kelemahanku, Abang juga enggak mungkin menghabisi putra Abang sendiri, bukan? Jika segitu malunya memiliki menantu seorang Rihana yang hamil di luar pernikahan, seharusnya Abang juga malu pada perilaku Abang di masa masih sehat. Kehidupan malam dan perselingkuhan. Bukankah Abang jauh lebih hina daripada Rihana?!"

"Sial!" umpat Aditama. "Jangan sembarangan bicara, Aji!"

"Terserah Abang saja. Tapi sekarang, Gillian, Rihana, dan Arion, adalah keluarga bagiku. Jika Abang yang merupakan keluarga asli mereka malah ingin merusak kebahagiaan mereka, tentu saja aku enggak akan diam saja!"

Ajirama langsung angkat kaki. Ia tidak mau terus berdebat dengan orang yang bahkan tidak bisa berjalan dengan benar. Karena jika terus dipikirkan, ada segudang dendam yang masih bersarang di dalam diri Aji terhadap kakak kandungnya itu. Di masa lalu, Aditama yang selalu takut jika ia kalahkan, memang kerap melakukan tindakan yang buruk. Lagi-lagi harta menjadi persaingan tidak penting, sehingga membuat Ajirama terpaksa angkat kaki dari rumah keluarga. Dan meski tidak sehebat perusahaan Aditama, setidaknya Aji berhasil membangun usahanya sendiri. Sayangnya, nasib buruk justru menghampirinya, tepatnya sepuluh tahun yang lalu, istri dan putrinya terlibat kecelakaan hingga meninggal dunia.

Setelah Ajirama keluar dari ruang kerja tersebut, napas Aditama mulai terengah-engah. Sebab ini bukan hanya sekadar perkara Rihana, si wanita miskin yatim-piatu, yang mendadak menjadi menantunya. Namun mengenai dendam di dalam diri wanita itu. Aditama ingat betul bagaimana dinginnya tatapan mata Rihana di tujuh tahun silam, di pertemuan terakhirnya dengan Rihana. Dan jika wanita itu sudah menjadi lebih gila, Aditama yakin Rihana sedang merencanakan sesuatu sekarang.

Buktinya, Desia yang sudah terbilang tua sekaligus berstatus sebagai ibu mertua pun, tak segan untuk Rihana siksa. Jika Rihana sampai membuat kegaduhan lainnya hanya karena kemarahan di masa silam, hancur sudah semua reputasi yang sudah Aditama bangun selama ini. Ia sudah dengan susah-payah membangun perusahaannya, nama baiknya, dan keluarganya, tentunya ia tidak mau jika ada seseorang yang menghancurkan semua pencapaian itu. Dan lagi, uang yang akan Gillian gelontorkan sebagai nafkah, pastinya bisa Rihana manfaatkan untuk segala hal, termasuk mengancam nyawa Aditama.

***

Pernikahan yang Gillian InginkanWhere stories live. Discover now