Episode 4-Telanjur Keras Hati

791 45 2
                                    

Jantung Rihana seperti mau copot. Bagaimana tidak, jika lagi dan lagi, pria yang sangat ingin ia hindari justru tengah berdiri di samping gerbang masuk sekolah TK, di mana putranya menimba ilmu. Gillian ternyata tidak hanya sekadar bermain-main saja. Justru ketakutan Rihana mengenai pria itu akan merampas putranya, memiliki kemungkinan paling besar untuk terjadi.

Sembari menahan gemetar yang sudah menyerang hampir seluruh anggota badan, Rihana yang baru saja turun dari sepeda motor tukang ojek berjalan ke arah Gillian. Gemelutuk gigi di dalam rahangnya juga terus berbunyi, bersamaan dengan gemuruh hebat di dalam dadanya. Namun Rihana yang tak mau kehilangan Arion, sungguh tak mau mengalah begitu saja. Ia harus menghardik dan tentunya mengusir Gillian, tak peduli pertengkaran antara dirinya dengan pria itu akan kembali terjadi.

Kurang lebih dua meter sebelum benar-benar berada di hadapan Gillian, Rihana justru menghentikan langkahnya. Sepasang matanya masih tajam dalam menatap pria itu. Dan kini tak hanya sekadar gemetaran, sebab ia juga sudah sampai ngos-ngosan.

"Gillian!" ucap Rihana lalu mengambil langkah kembali. "Untuk apa kamu ada di sini?! Kamu ingin menculik anakku?" Bahkan sebelum benar-benar berhenti, mulut Rihana sudah tidak tahan lagi dalam untuk memberikan tuduhan telak pada ayah dari anaknya tersebut.

Gillian yang sebelumnya sibuk menunduk, kini berangsur menatap Rihana. Wanita yang membuatnya terus kepikiran kini sudah ada di hadapannya. Hanya berkisar beberapa detik saja, akhirnya Rihana benar-benar menghentikan langkah tepat di depannya. Sepasang mata Rihana terus menunjukkan permusuhan yang tampaknya tak akan mudah untuk Gillian menangkan. Meski begitu, Gillian juga tak berniat untuk mengalah apalagi menyerah. Keputusannya untuk tetap menunggu di hadapan sekolah Arion selama kurang lebih dua jam pun sudah ia niatkan untuk menghadapi Rihana juga.

"Pergilah, Sialan!" ucap Rihana dengan keras dan kasar.

Gillian menghela napas. "Aku enggak mau bertengkar. Jadi, aku harap kamu enggak teriak-teriak, Hana," jawabnya.

"Apa? Kenapa memangnya? Kamu malu? Kamu takut kalau semua orang tahu, bahwa kamu adalah seorang penculik? Atau seorang ayah yang sama sekali enggak bertanggung jawab, begitu?! Haaah, memangnya aku peduli! Kalau kamu memang ingin aku berhenti berteriak-teriak, kamu seharusnya segera pergi dari sini, Pria Gila!"

"Aku enggak peduli apa pun pandangan orang-orang, karena aku ingin bertemu putraku. Yang aku khawatirkan adalah jika kamu sampai jadi bahan omongan semua orang setelah berteriak-teriak begitu, Hana."

"Gillian, aku mohon, pergilah. Kalau kamu memang sekhawatir itu padaku, maka pergilah, biar aku enggak sampai mempermalukan diriku sendiri."

"Enggak bisa."

Telapak tangan Rihana mengepal semakin erat. "Dia bukan putramu, Gillian!"

"Anak itu sudah tahu kalau aku adalah ayahnya. Aku memang belum bisa menemuinya, tapi dia sudah tahu, Hana. Aku adalah ayah yang sangat dirindukannya."

"A-apa katamu?"

Rihana begitu syok, meski ia juga tidak sampai bingung mengapa hal itu bisa terjadi. Tentunya Gillian bisa mengaku sebagai ayah pada Arion sendiri, lantaran pria itu juga sudah sampai di area sekolah tersebut.

Dan di sisi lain, sejujurnya Gillian belum bisa menemui putrinya. Sama sekali belum bisa. Ibu guru bernama Ayunda tersebut masih belum berkenan untuk memberikan akses pertemuan pada Gillian dengan Arion. Hanya saja, setelah Ayunda sempat keluar lagi dari kelas, Gillian membuat permohonan agar Ayunda menyampaikan ada salam dari ayah pada Arion. Entah, hal itu disampaikan atau tidak, Gillian tidak peduli. Yang paling penting saat ini adalah Rihana tak membuat kehebohan lagi.

"Mama!" Dan suara itu terdengar. Arion Ganesha, putra tunggal Rihana mendadak hadir di antara kedua orang tuanya yang masih terlibat tatapan saling memusuhi.

Pernikahan yang Gillian InginkanWhere stories live. Discover now