Episode 27-Bekal yang Rihana Kirim

325 21 0
                                    

"Enggak mau! Papa sudah gila ya?!" teriak Tiana setibanya ia di rumah bersama Jhony, sang ayah.

Jhony yang tadinya ingin langsung duduk di salah satu sofa ruang tamunya, berangsur menghentikan langkah kaki. Detik berikutnya, ia memutar tubuh dan segera menatap Tiana dengan marah.

"Gila gila! Berani-beraninya kamu mengatai Papa dengan sebutan gila, Tiana!" ucap Jhony.

Tiana belum menunjukkan gelagat menyerah atau pasrah dengan kesepakatan gila yang telah terjalin di antara ayahnya dan Aditama. Ia sungguh tidak bisa menerima cara mereka yang ingin memperalat dirinya. Padahal Tiana sendiri tidak berhak ikut campur dalam urusan perusahaan milik Jhony yang saat ini sedang mengalami kesulitan finansial dan minimnya kerja sama, gara-gara pihak Aditama alias pemilik perusahaan ritel terbesar bernama PT Adi Marco Tbk itu sudah memonopoli hampir semua kerja sama, dan bahkan Aditama telah memutus hubungan dengan Jhony sejak lama, sampai produk perusahaan Jhony tak lagi masuk dalam target penjualan Adi Marco. Kabarnya pun Aditama pernah menyebar fitnah sampai memperburuk situasi Jhony hanya gara-gara Jhony membatalkan rencana perjodohan secara sepihak di tujuh tahun silam.

"Bagaimana enggak gila, kalau sekarang Papa malah mau mengemis bantuan pada orang yang sudah menghancurkan Papa! Dan kenapa harus Tiana? Yang akan mendapatkan posisi bagus itu kan Kak Randy, bukan Tiana. Kenapa Tiana yang harus dikorbankan begini, hah?!" Kesal, Tiana semakin tak terkendali dalam mengeluarkan semua keluh-kesahnya. "Pokoknya aku enggak mau menjadi perebut suami orang, Pa! Mendingan aku melanjutkan pendidikanku dan lulus S2 daripada harus menjadi pelakor! Aku bisa kok mencari beasiswa sendiri!"

"Hei, Tiana! Ini semua demi keluarga kita juga. Sudah bertahun-tahun perusahaan kita di ambang kehancuran, meski begitu tahun ini tampaknya Papa sudah enggak bisa bertahan lagi. Kalau perusahaan Papa batal bangkrut, adikmu juga bisa hidup bahagia. Lagi pula, bukannya kamu menyukai Gillian? Apa salahnya hanya sekadar menjadi sekretarisnya dan menunjukkan sikap yang manis untuk mendapatkan hatinya, hah?! Nanti kalau perusahaan kita sudah bangkit, Papa juga bakal kasih kamu bagian yang sama dengan Randy, adikmu pun bisa sekolah ke luar negeri!" jelas Jhony.

"Dulu aku memang menyukai Kak Gillian, tapi sekarang sudah enggak, Papa! Aku enggak segila itu, Pa! Aku sekolah tinggi bukan untuk menjadi perusak rumah tangga orang!"

"Tiana!" Keras, suara Jhony saat ia semakin emosi. "Kalau kamu menolak, Papa terpaksa harus menyerahkan Kiara, adikmu yang baru berusia delapan belas tahun itu! Camkan baik-baik, Tiana, Papa sudah enggak bisa merusak hubungan Papa dengan Aditama lagi. Karena setiap kali Papa hendak bangkit, Adi akan menyerang lagi, seterusnya akan begitu sampai Papa benar-benar tumbang! Papa enggak punya pilihan lain, Tiana. Jika kamu menolak, Kiara yang akan maju!"

"Papa! Enggak bisa begitu dong! Dia bahkan baru mendapatkan KTP!"

"Kalau begitu kamu enggak usah membangkang dan persiapkan dirimu untuk berangkat sebagai sekretaris Gillian, mulai besok!"

"Aaaaaarrrrrgggghhhh!"

Jhony tak lagi memedulikan Tiana yang sudah histeris saking bencinya dengan situasi ini. Ia pun juga tidak lagi berniat mundur karena kesempatan untuk menyelamatkan perusahaannya mungkin hanya datang sekali saja. Sudah cukup baginya dalam mencari masalah dengan Aditama yang kejamnya sudah di atas rata-rata.

Meski bak menjilat ludah sendiri, yah, mau bagaimana lagi. Setidaknya sampai kondisi perusahaannya membaik dan mendapatkan klien yang bisa menjual semua produknya secara besar-besaran, ia akan melakukan hal yang sudah disepakati. Pasalnya, gara-gara kesulitan finansial tersebut, Jhony juga harus mengalami masalah penundaan atas pembayaran gaji para karyawan. Ia benar-benar pailit sekarang dan hanya dengan menggunakan Tiana, Jhony bisa keluar dari krisisnya.

***

Dengan penuh rasa ragu, Rihana menghampiri Jeki yang konsisten berjaga di depan rumah. Sementara tempat bekal yang belum lama ini ia beli saat perjalanan pulang selepas dari rumah lamanya, sudah tertenteng di salah satu tangannya. Tempat bekal yang tersusun rapi tersebut berisikan nasi dan beberapa lauk untuk makan siang. Namun, haruskah Rihana menyerahkannya pada Jeki, agar pengawal pribadinya itu mengantarkannya pada Gillian?

Rihana menelan saliva dengan susah-payah. Dan keraguan itu membuat langkahnya terhenti tepat di tengah-tengah teras rumah. Gelagatnya menunjukkan jika saat ini dirinya sedang kebingungan. Bagaimana tidak, jika ini pertama kalinya ia akan bersikap lebih baik dan lunak pada Gillian, tetapi di sisi lain ia juga malu sekaligus ragu.

"Nyonya, ada yang bisa saya bantu? Atau Nyonya mau keluar lagi?" Mendadak terdengar suara Jeki, yang ternyata sudah menghampiri Rihana.

Dengan gelagapan Rihana menjawab, usai menatap pria itu. "Ah, i-itu ...." Rihana sungguh tidak sanggup untuk berbicara. "Mm, ...."

"Saya hendak menjemput Tuan Kecil, Nyonya. Kiranya jika ada yang ingin Nyonya beli, saya bisa sekalian membelinya," ucap Jeki sembari melirik tempat bekal di tangan sang majikan. "Atau Nyonya mau pergi ke suatu tempat?"

Rihana menggeleng. Detik berikutnya, ia menyerahkan bekal tersebut pada Jeki. "To-tolong sekalian antarkan ke kantor tuanmu. Ta-tapi, tolong jangan bilang kalau aku yang memintamu. Bilang saja Mbok yang kirim! Pokoknya harus begitu! Harus!"

Setelah berkata demikian dan menyerahkan bekal pada Jeki, Rihana langsung berlari ke dalam rumah. Sikap Rihana yang tampak salah tingkah dan penuh gengsi sontak membuat Jeki terbengong-bengong dan bingung. Namun ketika ia sudah mengerti tentang situasi Rihana, barulah sebuah senyuman terlukis di bibirnya yang terhitung manis tersebut.

Kemudian, tanpa menunggu lebih lama, Jeki segera bergegas untuk menjemput Arion dan tentu saja sekaligus mengantarkan bekal buatan Rihana pada Gillian.

Di dalam rumah, di bagian dapur, Rihana terduduk tak berdaya di salah satu kursi yang tersaji di sana. Jantungnya masih berdebar tak keruan. Sementara benaknya terus memikirkan tentang bekal yang sudah berada di tangan Jeki. Sejujurnya pun ia masih memikirkan; apakah ia harus mengambil kembali bekal itu dan membatalkan niatnya untuk mengirim makan siang pada Gillian? Karena meski sudah meminta Jeki untuk mengatakan jika Minah yang mengirim, tetap saja, Rihana khawatir jika Gillian yang sudah mengenal cita rasa masakan Minah menjadi tidak percaya. Dan bagaimana jika Gillian langsung menyadari siapa yang membuat makan siang tersebut?

"Bukankah akan sangat memalukan?" gumam Rihana dengan perasaan getir. "Ck ... ini semua gara-gara Ibra. Dia sudah membuatku kacau begini!"

Rasa hangat menjalar di sekujur wajah Rihana, dan membuat wanita langsung tahu jika rona merah telah meliputi seluruh parasnya. Karena merasa tidak nyaman, ia segera menutupi wajah cantiknya itu dengan kedua telapak tangannya, sembari berharap semoga saja Minah dan beberapa pelayan tidak mengetahui ekspresi konyolnya sekarang.

"Bet! Nyonya mengirim bekal untuk Aden Gillian!" ucap Minah pada Beti yang saat ini tengah mengintip Rihana di balik pintu dapur bagian belakang. "Sepertinya misi kita akan berhasil, Bet!"

"Tuan Gilli pasti bakalan senang, Mbok! Duh enggak sabar juga nih nunggu Tuan Kecil kita pulang," sahut Beti.

"Kalau Aden Gilli sama Nyonya Hana beneran bisa satu kamar lagi, kita wajib mengadakan syukuran nih, Bet!"

"Hahaha, potong ayam sekalian ya, Mbok!"

"Ayam kampung ya, Bet? Atau sekalian potong sapi. Kita makan bareng, Bet, sama yang lain juga. Atau kalau pergi, kita bagiin ke tetangga juga, Bet, haha."

"Aduh jadi enggak sabar nih, Mbok! Kayak lagi nonton drama Korea, terus kita yang jadi intelnya."

Dua asisten rumah tangga itu segera menjauh dari pintu belakang dapur, dan melanjutkan perbincangan asyik mereka dengan rekan-rekan yang lain. Pembahasan soal hubungan Rihana dan Gillian yang berpotensi membaik, menjadi satu-satunya topik hangat yang mereka rundingkan.

***

Pernikahan yang Gillian InginkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang