14

55 9 0
                                    

Plakk

Suara tamparan terdengar nyaring mengisi ruang tamu dengan suasana mencekam. Udara yang seketika berubah dingin seiring dengan teriakan kekecewaan dari seorang wanita paruh baya.

"Susah, susah mama kuliahin kamu. Tapi yang kamu dapat cuma IP segini?"

Wanita paruh baya itu melemparkan selembar kertas yang sudah lecek tepat ke wajah seorang pria muda yang merupakan anaknya.

"Kenapa bisa begini?" Wanita itu melotot berang pada anaknya, wajahnya mengeras menahan amarah.

"Jawab Mama, Alex!" teriaknya menggelegar ke seluruh ruangan.

Alex menundukkan kepalanya, tak mampu bersitatap dengan mamanya. Matanya tertuju pada selembar kertas yang jatuh tepat dibawahnya, yang baru saja dilemparkan mamanya. Fokusnya tertuju pada bagian bawah kertas itu yang menampilkan tiga deret angka, 3,42.

"Maaf, ma," lirih Alex.

Alex masih setia menundukkan kepalanya bahkan ketika mamanya mendorong kepalanya beberapa kali. "Apa sih yang ada di otak kamu ini?" ucap mamanya.

"Jangan-jangan kamu di kost sama di kampus hanya main game aja. Mau jadi apa kamu Alex? Gak satu hal pun yang kamu lakukan, yang bisa buat mama bangga."

Tangan Alex mengepal. Lagi-lagi dia harus mendengarkan perkataan itu keluar dari mulut mamanya. Perkataan yang selalu sukses menghantam hatinya, meskipun sudah sering ia dengar berkali-kali.

"Kamu gak usah kost lagi. Tinggal aja di rumah Om Sandro, biar ada yang ngawasi kamu. Kalo di kost kamu jadi teledor dan sesukamu. Tidak mau belajar, hanya main saja!"

Kepala Alex terangkat sesaat setelah mamanya menyelesaikan kalimat putusannya. "Ma, please. Alex gak mau tinggal di rumah Om Sandro. Biarin Alex kost aja, Alex janji bakal rajin belajar," pinta Alex memohon.

"Halah. Ucapan kamu itu gak bisa dipercaya. Ingat, mama hari itu izinin kamu kost karena ada Mahesa disitu. Mama pikir dengan se-kost sama Mahesa kamu bakal lebih terpacu untuk belajar. Rupanya tetap aja hancur!"

"Ma...."

"Pokoknya kemasi barang kamu. Biar mama yang telepon Om Sandro biar kamu bisa langsung pindah secepatnya."

Alex menahan lengan mamanya yang hendak menelepon Om-nya itu. Dengan wajah memelas Alex memohon pada mamanya, "Ma, jangan sekarang, please. Tunggu sampai sewa kost aku habis, setelah itu aku janji bakal pindah ke rumah Om Sandro."

"Oke. Setelah itu kamu pindah."

Alex menatap tubuh mamanya yang perlahan menjauh, meninggalkan dirinya dengan perasaan tak karuan. Diusapnya wajahnya kasar. Tubuhnya dia bungkukkan, memunguti kertas hasil studinya.

Sejak dulu mamanya selalu ingin dia menjadi anak yang pintar dan berprestasi. Dia selalu diberikan pendidikan yang terbaik. Di sekolahkan di tempat yang bagus, di daftarkan di tempat kursus terbaik. Namun, semua hal itu tak serta merta menjadikannya seperti keinginan mamanya. Dia bukanlah anak yang pintar.

Mahesa, adalah teman satu tempat kursusnya. Murid terpintar yang pernah dia temui. Alasan kenapa mamanya mengizinkannya untuk ngekost. Dan juga orang yang selalu dibandingkan dengannya. Mamanya ingin dia pintar seperti Mahesa, ingin dia masuk ke Jurusan Kedokteran seperti Mahesa. Tapi sayang Alex tak mampu keinginan mamanya, dia tak bisa menjadi pintar dan dia gagal masuk Jurusan Kedokteran.

Alex tak ingin pindah. Dia ingin tetap berada di kost sampai dia lulus nanti bahkan kalo bisa dia ingin tetap disana lebih lama lagi. Kalau sampai dia pindah ke rumah Om Sandro sudah dipastikan tidak ada kebebasan untuknya. Terlebih lagi sepupu-sepupunya yang menyebalkan tidak akan membiarkannya tinggal dengan tenang disana.

Sebelum masa sewa kost-nya habis, dia harus segera memikirkan cara untuk mengubah keputusan mamanya. Walaupun kemungkinanannya sangat kecil, karena dia pun sudah mengecewakan mamanya berkali-kali. Mana mau mamanya mendengarkannya lagi. Pun dia bertahan di kost-an hanya karena ada Mahesa.

Alex melangkahkan kakinya meninggalkan rumah. Hari ini turun hujan, tidak deras tapi cukup untuk membuat basah kalau nekat menerobos. Meskipun begitu dia tetap memilih untuk segera pulang ke kost-nya, melewati titik-titik hujan yang menghujani dirinya dengan motornya yang melaju dengan kecepatan tinggi.

Ya, lebih baik seperti ini daripada dia harus tinggal lebih lama di rumah itu.

$$$

"Serius amat bang. Lagi liat apa lo?"

Henzi mendudukkan pantatnya di kursi teras kost. Keduanya duduk bersampingan tapi dipisahkan dengan sebuah meja bulat kecil di tengah.

"Ngitung air hujan yang jatuh ke bumi."

"Oh, udah sampe berapa?"

Henzi ikut memandangi air hujan yang jatuh mengenai tanah, menghasilkan cipratan-cipratan kecil membasahi lantai teras. Dia sudah terbiasa dengan jawaban aneh dan pertanyaan aneh yang sering dilontarkan oleh Malvin. Bukan cuma dia sih, semua penghuni kost juga sudah terbiasa. Jadi, tidak perlu bingung dan bimbang, cukup ikuti saja kegilaannya.

"Sepuluh."

"Hah? Sepuluh?" Henzi memutar wajahnya menghadap Malvin. Matanya melebar dengan kening mengerut dan mulut terbuka. "Perasaan hujannya udah turun dari tadi, mana hujan deras lagi. Masa cuma sepuluh?" protesnya.

"Ya, yang gue hitung cuma sepuluh. Yang lainnya kagak gue hitung," jawab Malvin, menaikkan satu alisnya menatap Henzi.

"Ada-ada aja lo bang," dengus Henzi tak habis pikir.

Ralat, Henzi tak pernah terbiasa dengan keanehan dan kegilaan Malvin.

Keduanya saling diam, tak ada lagi percakapan yang terjadi setelah kalimat terakhir Henzi. Hanya suara jatuh hujan yang mengisi diantara mereka. Hawa dingin mulai merambat dan langit pun mulai menggelap.

"Hujannya deras banget. Ini gimana yang lain pulangnya ya?" tanya Malvin memecah keheningan.

Henzi menyalakan layar ponselnya, memperhatikan jam ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh malam lewat. "Tinggal Alex sama Mahesa yang belum pulang. Mahesa aman, dia biasa pulang naik grab. Alex paling neduh dulu. Dia mah jarang terobos hujan, apalagi kalo deras gini. Jadi lo gak usah khawatir, Bang," ujarnya.

Malvin menghela napasnya. "Ya, semoga saja begitu. Paling tidak jangan kebut-kebutan di jalan waktu hujan gini kalo bawa motor."

"Yaelah bang, si Alex mah bawa motor mana pernah ngebut, kayak kura-kura pun dia bawa motor," ujar Henzi setengah mengejek.

"Bukan Alex. Tapi lo sama Yunep." Malvin melayangkan jitakan keras ke kepala Henzi, menghasilkan pekikan kesakitan dari Henzi. Matanya mendelik tajam pada Henzi. "Lo berdua kalo dah bawa motor udah berasa lagi di arena balapan."

"Ya maap," dengus Henzi. Tangannya sibuk mengusap-usap bekas jitakan Malvin.

"Udah ayo masuk."

Malvin bangkit berdiri melangkahkan kaki masuk ke kost diikuti oleh Henzi. Tangannya meraih knop pintu. Sebelum dia menutup pintu, dia melihat sejenak ke arah pagar lalu menghela kasar napasnya. Dia masih saja khawatir. Ditutupnya pelan pintu, kemudian berjalan menuju dapur.

Semoga tidak terjadi hal yang buruk.

Bersambung...

Terima Kasih buat yang sudah mampir dan baca cerita aku...
Love you all♡

Kost Bintang Lima《StrayKids》Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα