09

81 10 1
                                    

Duduk di depan kost sembari menikmati secangkir kopi, mengamati para pasukan kucingnya yang sibuk menyantap makanan, telah menjadi keseharian yang disukai seorang Malvin setiap sorenya.

"Makan yang banyak, biar cepat gemuk. Jangan cungkring kek si Yunep," ucap Malvin, mengelus salah satu kucing berbulu orange, favoritnya.

"Malvin. Apa kabar, bro?"

Malvin menyipitkan matanya menatap Brian yang menepuk keras bahunya lalu duduk di kursi, sampingnya. Brian menyingir tak berdosa saat mendapati tatapan sinis dari Malvin.

"Kayaknya ada yang minta di hantam nih," ancam Malvin. Dia sudah bersedia untuk melayangkan sandalnya di muka Brian.

Brian terkekeh pelan. "Sorry, sorry. Jangan marah. Pake lagi dong sandalnya."

Brian menahan tangan Malvin, mengambil sandal digenggan Malvin, lalu mencampakkannya ke bawah.

"Ngapain lo kesini?"

"Itu...." Brian menjeda ucapannya, dia ragu untuk mengatakan niatnya menemui Malvin. "Lo tau kan gue itu gak dekat sama Henzi. Emm, kira-kira lo tau gak itu kenapa?"

Kening Malvin mengerut. Dia menatap aneh pada Brian yang menatapnya canggung. "Mana gue tahu. Kan lo berdua yang punya masalah, malah nanya ke gue, kenapa."

"Ya, lo bantu gue lah, bang. Gak enak banget kek gitu sama dia, mana kamar kami sebelahan. Masa iya tiap hari gue harus nengok muka kesal dia tiap hari. Begini, nih." Brian dengan semangat mempraktekkan wajah kesal Henzi setiap kali berpapasan dengannya.

"Lagi pun gue gak tau entah salah apa gue sama dia," ucap Brian mengakhiri keluhannya.

"Cobalah lo ingat lagi. Mana tau lo ada buat salah yang benar-benar tak termaafkan."

"Sumpah, bang. Gue gak ada salah sama dia. Dari awal gue kos disini udah begitu dia ke gue," ujar Brian dengan nada tinggi. Dia sudah bosan menjelaskan kalau dia gak ada salah sama Henzi.

Malvin merenung, menatap Brian dengan tatapan menyelidik, lalu dia menghembuskan napasnya kasar. "Muka lo sih masalahnya. Ngeselin."

"Yaelah, bang, serius dikit napa."

"Jadi lo maunya gimana?"

"Bantulah bang, setidaknya biar gue tau salah apa gue sama dia."

"Ntar gue tanyai langsung."

"Serius, bang? Eh, tapi bang Krisan udah pernah nanya gitu ke dia, tapi dianya gak jawab."

"Yaudah, ditanya dulu aja. Kali aja kalau orangnya pengertian macam gue dia mau cerita."

Brian mengeluarkan ekspresi orang ingin muntah. Pengertian apanya, Malvin yang dia kenal itu rese banget. Ya, walaupun sebenarnya dia baik. Tapi, baiknya sedikit. Sedikit aja.

"Oke deh, bang. Gue percayain semuanya sama lo."

"Tapi ada bayarannya, Brian." Malvin tersenyum licik menatap Brian penuh arti, kopinya yang sudah dingin dia sesap perlahan. Tiba-tiba dia tertawa pelan, menyilangkan kedua kakinya. Dia mulai membayangkan dirinya sebagai seorang aktor yang sedang bermain drama.

"Apaan bayarannya? Sejuta? Dua juta? Atau berapa?" tanya Brian memperkirakan berapa bayaran yang akan diminta oleh si maniak kucing itu.

"Nanti gue beritahu."

Brian tak puas dengan jawaban Malvin, namun tak berniat berdebat. Takut nanti gak dibantuin sama Malvin. Brian hanya berharap, semoga Malvin tidak minta yang aneh-aneh.

Semoga saja.

$$$

"Sa, habis darimana?"

"Dari kampus."

"Loh, tadi gue cari ke jurusan, kata teman lo, lo-nya gak masuk kelas."

Mahesa terdiam. Dia membiarkan tangannya menggantung di knop pintu kamar kos nya. Sial sekali dia ketahuan berbohong oleh Alex.

"Tadi gue izin pulang ke rumah. Nyokap gue ada perlu."

"Jadi tadi kenapa lo bohong?" Alex melanjutkan pekerjaannya menata sepatu-sepatunya di rak samping kamar kost nya.

"Ya gapapa," jawab Mahesa singkat. "Eh, iya, tadi lo ngapain nyariin gue?" tanyanya berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

"Gue mau minta tolong ajari. Ada yang kagak bisa gue kerjai."

Alex menepuk-nepuk tangannya berusaha menghilangkan debu yang menempel di tangannya. Dia menatap bangga pada tumpukan sepatunya yang sudah tertata rapi.

"Lex, lo itu jurusan Hubungan Internasional dan gue itu jurusan Kedokteran, gimana ceritanya lo minta gue ngajari lo? Mana nyambung."

Alex terkekeh, tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya, tapi kan lo pintar. Lagipun gue cuma minta bantuin nulis jurnal."

"Sama aja, Lex. Kenapa gak minta ajari Henzi? Tuh anak jago nulis." Mahesa melepaskan tali sepatunya, membawa sepatu berwarna putih itu dalam tentengannya.

"Takut gue, Sa. Lagi badmood dia."

"Ya udah nanti gue ajari. Mau tidur dulu nih. Capek."

Alex mengacungkan dua jempolnya, senyum mengembang di bibirnya. Mahesa berlalu masuk ke kamar kost nya disusul Alex yang juga masuk ke kamar kost nya.

Di kamarnya, Mahesa segera menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuk miliknya. Dengan susah payah dia mengatur laju napasnya yang tiba-tiba tidak karuan.

Tangannya menggapai tas yang tadi dilemparnya ke asal, mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. Mahesa mendengus, menatap tak minat bungkusan itu, tubuhnya dia bawa duduk bersila di kasurnya sementara tangannya mengeluarkan beberapa pil obat dari dalam bungkusan itu.

"Kok jadi banyak gini? Udah mau mati kali, ya?"

==O==

See you later!

Kost Bintang Lima《StrayKids》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang