07

90 10 0
                                    

Alex tersenyum lega. Bok tidak jadi ditunggangi empat orang. Bok hanya akan ditunggangi dua orang, Alex dan Yunevo. Sedangkan Henzi dan Mahesa naik motornya Henzi.

Tadinya si Alex yang pengen mengendarai Bok, tapi Yunevo bilang Alex lelet banget bawa motor, jadilah Yunevo yang bawa. Sementara untuk tetangga sebelah yang bawa motor Henzi, karena Mahesa bisanya cuma jalur lurus aja, beloknya gak bisa.

Jadilah mereka memulai perjalanan menuju supermarket. Awalnya sih aman, tentram, dan damai, tapi bukan Yunevo namanya kalau gak cari sensi. Dia mensejajarkan laju dengan Henzi.

“Zi, bisa gak lo begini?” ujar Yunevo. Dia menggerakkan stang motor ke kanan dan ke kiri secara cepat. Alex diboncengan yang lagi mikirin daftar barang yang pengen dibeli pun terkejut.

“Ayam, ayam, ayam. Santai dong, Yun, bawanya,” ucap Alex latah.

Ucapan Alex hanya dihadiahi cengiran oleh Yunevo.

“Bisalah Yun. Tengok nih.”

Baru aja Henzi ingin melakukan atraksinya helmnya udah keburu dipukul sama Mahesa.

“Jangan maen maen di jalan. Bahaya.” Mahesa mukul helm Henzi untuk kedua kalinya.

Yah, gagal deh aksinya.

Yunevo tertawa kencang, malajukan motornya kencang meninggalkan Henzi yang menggerutu dan Mahesa yang masih sibuk ceramah.

“Pelan-pelan Pak supir!” Alex berteriak. Hampir aja dia terjungkal kebelakang, Yunevo ngegas gak ada aba-aba.


$$$


“Enakkan Indomeme atau Mie Zedapp?” tanya Alex.

“Indomeme.”

“Mie Zedapp.”

Yunevo dan Henzi menjawab bersamaan.

“Enakkan Indomeme lah. Mie Zedapp mah micin,” ujar Henzi.

“Si Burhan ogeb banget. Lo pikir Indomeme kagak micin?” ucap Yunevo.

“Setidaknya micinnya masih terkontrol.”

“Terkontrol apanya? Micin ya micin.”

“Terserah pokoknya Indomeme yang enak.”

“Mie Zedapp lebih enak. Gurih, gurih gimana gitu.”

Alex memutar bola matanya. Gak benar kalau nanya nih dua orang. Dia butuh Mahesa, tapi daritadi tuh anak kagak nampak batang hidungnya.

“Ribut banget lo berdua. Kedengaran sampe sebelah.”

Alex, Henzi, dan Yunevo kompak menoleh pada Mahesa. Panjang umur sekali. Baru juga dibicarain udah nongol orangnya.

“Sa, sini dong,” panggil Alex.

Mahesa mendekat. “Apaan?”

“Enakkan Indomeme atau Mie Zedapp?” Alex memegang masing-masing bungkus dari kedua merek.

Henzi dan Yunevo yang tadi ribut pun terdiam. Penasaran dengan pilihan Mahesa.

“Sori. Gue gak makan mie instan.” Mahesa melipat kedua tangannya ke depan dada.

Mereka bertiga mendesah kecewa. Mereka lupa kalau Mahesa tidak satu server dengan mereka. Si anak kedokteran itu sangat menjunjung tinggi kesehatan, mie instan baginya adalah racun.

Cih, kasihan sekali dia tidak dapat menikmati kenikmatan mie instan yang merupakan makanan wajib anak kost, terutama saat dompet kritis.

"Ya udah, Sa. Balik sana lagi lo!" Yunevo mengayunkan tangannya mengusir Mahesa.

"Lagian kalo keseringan makan mie instan entar lo pada banyak penyakitan," ujar Mahesa menasehati.

"Gak sering-sering kok, Sa. Cuma 7 kali seminggu," sahut Henzi.

"Eh, goblok. Itu berarti lo makan setiap hari!" seru Alex.

"Oh, iyakah?" Henzi tertawa pelan.

"Gini nih ciri-ciri kebanyakan makan mie instan. Kinerja otaknya melambat," sindir Mahesa.

"Cangkemmu mas." Henzi menabok pelan mulut Mahesa yang langsung dihadiahi tampolan keras di kepalanya.

"Tangan lo bau. Jangan kotori bibir suci gue," ujar Mahesa berlalu melanjutkan kegiatannya memilih shampo meninggalkan tiga orang idiot yang masih mendebatkan mi instan terenak.

$$$

"Iya, tante. Uang beasiswa Yaren belum keluar."

"Yaren gak bohong. Memang belum keluar tante. Nanti kalau udah keluar Yaren transfer."

Yaren mengusap wajahnya kasarnya. Ponsel yang tadi bertengger di telinganya dia lempar kasar ke atas sofa. Yaren merebahkan tubuhnya telentang di sofa, sebelah tangannya dia gunakan menutupi matanya.

Ini sudah kedua kalinya tantenya menghubunginya seminggu ini, hanya untuk menanyai perihal uang beasiswanya. Sedari Yaren berusia dua belas tahun, dia sudah tinggal bersama keluarga kakak ayahnya. Ibunya sudah lama meninggal sementara ayahnya tak tahu berada di mana.

Tantenya sebenarnya tak mengijinkan Yaren untuk kuliah. Namun, Yaren bersikeras untuk kuliah, dia mencoba mendaftar untuk beasiswa dan berakhir mendapatkannya. Meskipun Yaren sudah mendapatkan beasiswa, tantenya tidak serta merta mengijinkannya kuliah. Kata tantenya daripada kuliah lebih baik dia bekerja cari uang untuk bantu keluarga. Apalagi tantenya memojokkannya dengan pernyataan bahwa keluarga tante nya lah yang merawat dan membesarkannya.

Akan tetapi, tantenya memberinya pilihan tidak kuliah dan cari kerja atau Yaren harus memberikan setengah dari uang beasiswanya pada tantenya. Yaren yang tak mau kehilangan kesempatan pun mengiyakannya. Alhasil, dia harus hidup serba kekurangan disini.

Uang beasiswanya memang belum keluar. Tapi, pengeluaran Yaren untuk semester ini cukup besar dari semester lalu. Terlebih lagi dia harus membeli buku rekomendasi dosennya, yang kalau tak dibeli bisa-bisa dia di keluarkan dari kelas.

Dia sendiri bingung untuk menutupi minus keuangannya. Makanpun dia nebeng ke Bang Krisan, Malvin atau Brian. Mau minjam duit, tapi gak enak karena udah sering ngerepotin tiga orang tertua di kost-an ini.

"Anjir .... apa gue ngepet aja, ya?"

"Ya kali gue jadi babi."

Yaren mengusak kepalanya gemas. Stress banget dia hari ini.

==O==

Jumpa lagi...
bye-bye

Kost Bintang Lima《StrayKids》Where stories live. Discover now