bagian 18.

32 3 0
                                    

Setiap dimintai datang ke rumah keluarga Nam, Jin-ah selalu tak enak hati. Kali ini ada masalah apa lagi? Pikirnya.

Melewati ruang utama nan sepi, dia lantas bergegas ke ruang pribadi Goong min. Tanpa mengetuk pintu, memunculkan diri. Perlakuan yang tak sopan darinya mendapat lirikan tajam dari si empu ruang. Meski tak sampai menegur.

"Ku dengar kau pergi ke Wonju. Apa yang kau lakukan disana? Apa wanita itu yang memintamu?"

Tak mengindahkan Goong-min, Jin-ah memandang lurus lawan bicara. "Jawab, ketika orangtua bertanya. Aturan dasar ini apa kau tak mengerti?"

"Masalah pribadi. Aku tak bisa memberitahumu."

"Masalahmu adalah masalahku." Membuka laci meja, dia menempatkan kertas terlipat_ mengisyaratkan Jin-ah melihat isi surat.

Sengaja menghela nafas, beberapa langkah Jin-ah maju meraih dan membuka lalu membacanya. Tak ada reaksi berlebih darinya. "Lalu?" Tanyanya setelah mengembalikan kertas keatas meja.

"Lalu, katamu? Sudah berapa lama kau mengetahuinya? Kenapa merahasiakannya dari ayahmu."

Tersenyum remeh, Jin-ah mencondongkan tubuh lebih dekat ke arah pria berkacamata tersebut. "Haruskah ku katakan alasannya disini? Kau tak takut terdengar bibi?"

Bukan main kelakuan anak ini. Harusnya Goong-min sadari kalau buah jatuh tak jauh dari pohonnya, atau dialah yang lebih dulu menciptakan permusuhan.

"Apa yang kau inginkan dari bukti visum ini? Mengakui ku? Bukankah aku anak yang tak diinginkan. Anggap saja kau tak tahu apa-apa. Jalani hidupmu, begitupun denganku. Dan, ingat jangan pikir dengan selembar kertas kau bisa mengaturku."

Semua perkataan ketus Jin-ah membuat Goongmin terdiam. Tak dia sangka gadis ini punya emosi begitu besar dan sekali ini melepasnya. Biasanya setiap kali jengkel pada perkataannya, Jin-ah selalu bisa menahan diri.

"Kembalilah ke rumah. Aku yang akan mengurus surat ceraianmu. Soal bibimu, aku juga akan memberitahunya."

"Tidak mau. Apa kau sudah selesai? Aku pergi."

"Aku tahu permohonan maaf yang kulakukan takkan bisa menghapus kesalahan yang ku buat. Tapi setidaknya biarkan orangtua ini menebusnya

"CK. Jangan membuatku semakin membencimu. Tebus? Tebus katamu. Bagaimana bisa kau tebus masa-masa kecilku ditempat dingin itu." Ucapnya lantang dengan tangan menunjuk kearah pintu. "Hari-hari selama dipenjara apa kau tahu bagaimana perasaanku? Setiap hari aku terus bertanya salahku apa. Kenapa tak ada satupun orang dewasa datang menjengukku. Di mana perginya paman yang selalu ku banggakan?! Walau aku sadar paman tak begitu suka padaku, tapi bagian kecil dari perasaanku mengatakan paman pasti akan datang menyelamatkanku. Takkan membiarkanku sendiri dalam ketakutan." Menyeka asal cairan yang turun dibawah mata.

"Kalau saja kau punya sedikit nurani? Kau takkan bertindak se biadab itu. Membenci anak kecil sampai ingin memusnahkannya. Kau bukan manusia. Sampai matipun aku takkan mengakuimu sebagai ayah. Ayahku hanya satu. Pria yang sudah kau celakai dan menjadi korban karena keserakahan mu."

"Tutup mulutmu! Jangan membuatku kehilangan kendali."

"Kau dengannya tak ada beda. Kalian sama saja. Karena ulah kalian hidupku hancur. Kau mengurungku disana dan dia menyiksaku. Kalian tak ubah seperti iblis berkedok manusia. Sama saja." Memperhatikan sekitar. Ketika retina penuh amarah itu menangkap keberadaan vas besar yang tak jauh dari keberadaan Goong-min, Jin-ah langsung menyikutnya.

Plang..

Salah satu akses berharga menjadi kepingan hancur yang tak bernilai lagi. "Ini masih permulaan. Ingat! Aku bukan anak kecil lagi. Kau tahukan pepatah budi balas?"

Imperfections (On Going)Where stories live. Discover now