bagian 3.

61 12 1
                                    

Kehilangan separuh jiwa, kini tengah dirasakan Ji-hyun. Langit cerah, aroma bumi dan wangi bunga berhembus hingga ke dalam ruang istirahat tak membangkitkan gadis berwajah bantal itu dari dunia mimpi. Dia masih saja meliuk dibawah selimut.

"Sungguh, aku tak perlu membangunkannya?" Tanya wanita paruh baya yang adalah pemilik dari rumah mewah yang dihuni bersama.

"Em. Biarkan saja. Dia seperti itu karena putra berharga mu. Sudah ku bilang padanya tak perlu pergi. Dia tetap keras kepala, tidak mendengar ku."

Pria berlensa tipis mengoceh sembari memperhatikan layar tab yang di sanggahnya dengan tangan.

Si nyonya rumah yang tadinya akan bergerak menaiki tangga, kembali menuju ruang makan. Dia memperhatikan si pembicara dengan raut wajah kesal.

"Lagi! Lagi! Sayang, kau melakukannya lagi!?"

"Sudah ku bilang berapa kali, saat di rumah, saat berada di meja makan, harusnya kau lupakan pekerjaanmu. Kau tidak lelah? Kau melakukannya di sana dan_ bahkan di rumah kau masih saja melakukannya."

Si pria terkekeh. Cepat dia meletak benda pipih yang dipegangnya. "Maaf sayang, aku lupa."

"Ya. Kau sama seperti putramu. Kalian berdua benar-benar keras kepala."

"Tentu. Kami ayah dan anak."

"Bagus, kau tahu. Makanya jangan heran bila dia tidak mematuhi aturan." Ia akhirnya memperlihatkan senyuman, menduduki bangku. Tangannya meraup mangkuk dan mulai mengisi sup tauge.

"Aku benar-benar tidak sabar melihatnya menikahi Ji Hyun. Kau tahu harapanku kan?" Hentinya sesaat, menanti reaksi si suami.

"Tentu. Cucu. Selalu cucu yang ada dipikiran mu."

"Kau benar. Bagaimana denganmu? Kau tak ingin menimang cucu? Tidak takut ada yang mendahului putramu, mengambil Ji Hyun?"

"Jangan bercanda. Kau tahu bagaimana mereka berdua saling bergantung. Mereka takkan terpisah."

"Benarkah? Entah kenapa akhir-akhir ini, aku tidak tenang. Aku takut hal buruk akan terjadi."

"Hal buruk?"

"Eoh. Kau tahu_" jedanya dengan pandangan menyeluruh pada ruangan.

"Apa?" Pria berlensa bertanya pelan.

"Aku memimpikan mendiang ipar?"

"Maksudmu?"

"Adik ipar ingin kita memenuhi janji. Menikahlah Jin-ah pada Jaemin."

Tampak kaget, setelahnya kembali tenang. "Jin-ah_ entah bagaimana kabarnya. Hingga detik ini, kita belum menemukannya. Tolong, jangan lagi kau ungkit namanya. Kalau sampai Ji-hyun mendengar, dia akan mengurung diri lagi dan terus menangis."

"Ji-hyun yang malang. Aku juga tidak ingin mengungkitnya. Hanya saja mimpi itu sangat mengusikku."

"Makan. Beri aku makan. Aku harus segera pergi." (Sengaja mengalihkan pembicaraan.)

_

Tangan kiri menenteng tas kerja. Tangan kanan Goong min membuka pintu mobil hitam miliknya.

"Kau?? Kapan  kembali? Dimana Haesom?"

Anggukan kepala jadi sapaan supir bertampang sangar. Ia memandang sebentar tuannya, tidak memberi jawaban, namun malah menarik tuas dan menjalankan kendaraan.

Goong min tersenyum tipis, ia melanjutkan,
"Pantas saja istriku dan Ji-hyun takut padamu."

Seringai diperlihatkan pria berwajah gelap. "Nyonya besar dan nona muda hanya tidak mengenalku sebaik tuan mengenalku saja." Datarnya.

Imperfections (On Going)Where stories live. Discover now