bagian 9.

38 4 0
                                    

"kau baik-baik saja? Apa aku tidak seharusnya datang?"

Barusan menduduki kursi pengemudi, Shinhwa menarik lembaran tisu yang langsung ia serahkan pada gadis yang duduk di kursi sebelah. Mata Jin-ah berkaca-kaca.

"Jalan. Abaikan saja aku. Kakak fokus mengemudi saja."

"Yakin?"

"Eoh."

Beberapa saat menanti respon Jin-ah yang dimana gadis itu malah memalingkan wajah sembari menyeka mata, Shinhwa pun menarik tuas dan bergerak.

_

Ditempat ia berada, hal serupa terjadi pada Dae-sung. Hanya ia cepat menangani emosi. Tak mau berlama muram, ia pergi ke bilik kecil_ membiarkan diri basah oleh pancuran air yang mengalir deras. Matanya memejam merasakan Hujaman air dingin yang terus menguyur sekujur tubuh berbalut pakaian.

Daesung menertawai diri. Kenapa harus berlebihan menanggapi kepergian seseorang yang hanya singgah sementara. Dia bahkan tak menangis saat pergi meninggalkan keluarga.

"Aku pasti sudah tidak waras. Han Dae-sung, lama menyendiri_ kau semakin tidak waras. Jernihkan pikiranmu. Jangan terbawa perasaan." Mengangguk-angguk ia membenarkan sendiri apa yang sudah ia utarakan.

Cukup lama membiarkan air mengalir menjernihkan pikiran, Daesung keluar dari sana dengan handuk melilit di atas pusar. Ia membawa serta pakaian basah yang tadinya akan ia masukkan kedalam keranjang pakaian kotor. Namun sesaat sebelum terjadi, niat ia urungkan. Sekali lagi Daesung pikir, ia kembali bersikap konyol. Kenapa mendengarkan Jin-ah. Ia selalu hidup sesuka hati. Selamanya akan hidup seperti ini.

_

Rumah kediaman Na Goong-min.

Didalam kamar, tak sedetikpun Jenni tidak bergerak gelisah. Sesaat setelah mendapat telpon dari sang suami hingga keponakannya berada disini, ia kian gelisah bercampur takut. Seberapa keras pun berpikir, tetap tak mengerti jalan pikiran sang suami. Seolah tanpa beban, pria itu bersikap santai didepan gadis yang berpuluh tahun lamanya tidak pernah mereka temui.

Harus bagaimana, agar pria itu tak membiarkan Jin-ah tinggal disini. Jenni yakin bukan hanya dia yang tak merasa nyaman. Putra dan calon menantunya pun pasti merasakan hal sama.

Baik. Pertama-tama ia akan mendatangi Ji-hyun.

Menetralkan kerja jantung, Jenni melangkah keluar menuju ruang yang hendak dituju.

Tok tok.

"Sayang, boleh bibi masuk?

"Eoh. Silahkan bi." Suara dibalik dinding menyahut.

"Kenapa bi? Bibi sakit?"
Ji-hyun mendapati raut wajah bibinya yang penuh kecemasan.

"Bibi baik." Senyumnya terpaksa. "Hanya saja__ "

"Tidak. Sebenarnya bibi tidak baik-baik saja. Bagaimana, Kau tidak pergi menemui kakakmu?" Sambungnya.

"Entahlah, Bi. Ku pikir aku akan jadi gadis paling bahagia ketika bertemu kembali dengan kakak, tapi aku salah. Kami seperti orang asing. Terlalu jahat bagiku berpikir dia bukan kakak. Aku malu menemuinya. Kak Jin-ah pasti bisa merasakannya. Aku tak ingin kakak sedih."

"Bibi bisa memahami mu. Tidurlah lebih awal. Besok kalian bisa mulai mengobrol."

Menepuk pundak gadis murah senyum itu, Jenni keluar dari kamar.

.

Di ruang istirahat milik penghuni sebelumnya, Jin-ah pengganti_ duduk terdiam dipinggiran ranjang. Situasi saat makan malam tadi membuatnya berpikir keras bagaimana bisa berlama di tempat ini. Ujian selalu ada sebelum hal baik datang. Dan dia mulai mencari alasan, bila memang harus tetap disini. Ia menemukannya. Senyum manis putra pemilik rumah. Na Jaemin.

Imperfections (On Going)Where stories live. Discover now