bagian 1.

169 20 2
                                    


18 tahun kemudian.

Gadis berambut sebahu_ pita kuning tersemat di sisi kiri, dengan bentuk tubuh proposional, memeluk sebuah buku usang. Ia berdiri menghadap kolam yang dipenuhi ikan hias dengan doa yang masih sama. Ingin dipertemukan dengan saudari kembarnya.

"Astaga? Sampai kapan dia akan menunggu?! Sudah satu jam lebih dia seperti ini." Menghela nafas, pria berseragam polisi keluar dari persembunyian dan menghampiri gadis yang memunggunginya dari kejauhan.

"Dia masih tidak muncul?"
Suara berat itu membuat Ji-hyun menoleh sekaligus menggeleng. "Kau membuntuti ku? Harusnya pohon tua itu ditebang saja." Unjuk-nya pada tempat persembunyian kawannya.
Pohon rindang yang berdiri kokoh di tengah hamparan rumput, selalu jadi tempat persembunyian si penguntit ini dari tahun ke tahun.

"Dia benar-benar keterlaluan. Kenapa ingkari janji?" Tambah si polisi muda.

Kali ini Ji-hyun tidak merespon. Hanya saja kedua mata bulatnya memandang tak terima pada pria yang selama ini terus mengawasinya.

"Katakan tujuanmu kemari!?" Akhirnya sudut bibir gadis manis itu tertarik keatas.

"Baik nona. Hamba datang untuk membawa nona bertemu mendiang Paman dan bibi."

"Seperti biasa, ayah menunggu kita di sana." Tambahnya.

.
.

_

.
.

Tembok kokoh dengan kawat berduri disekeliling, membuat siapapun tahu betapa kerasnya kehidupan yang ada didalam sana. Tempat di mana para tahanan diberi hukuman atas kejahatan yang pernah mereka lakukan. Tidak peduli itu kejahatan yang disengaja, kejahatan akibat melindungi diri, ataupun hukuman akibat salah vonis.

Begitu pintu besi dibuka, beberapa dari mereka tertawa lepas. Ada yang memberi bow pada petugas, sebagian melewatinya begitu saja, sampai dengan mereka yang melentangkan kedua tangan, menghirup udara kebebasan. Satu diantara mereka nampak berbeda. Wajahnya tak terlihat senang, sorot matanya juga datar. Lantas, mungkinkah dia tak seantusias yang lain, meski telah lepas dari jeruji yang selama ini telah membelenggunya?
Dia gadis muda dengan penampilan biasa. Bagaimana bisa dia keluar dari tempat keras seperti ini?

Tin..tin..

Meski bunyi klakson mobil hitam terus mengikuti langkahnya, dia tak berhenti walau barang sekejab.

"Jin-ah ini aku, Tae-min." Pria dibalik kemudi, mencondongkan kepalanya keluar, menghentikan gerak si gadis. Senyuman diberi gadis itu. Siapa sangka pria yang telah hilang ditelan bumi bertahun lamanya, malah muncul ke permukaan.

"Masuk!" Titah si pria.

Tanpa penolakan, Jin-ah bergerak masuk. Sesaat, matanya menerawang benda beroda yang ia tumpangi.

"Bagaimana kabarmu.." keduanya terkekeh karena pertanyaan serempak. Namun, hanya sebentar. Rona wajah Jin-ah kembali datar, ketika melihat cincin perak melingkar di jemari manis pria berhidung mancung itu. Dan, Tae menyadari. Dia tersenyum kaku, berusaha menutupi benda kecil yang tersemat manis.

"Kabarku baik. Maaf, selama ini aku tidak mengunjungimu."

Gelengan kecil diberi Jin-ah. Setelahnya keduanya terdiam dengan pikiran tersendiri.

Flashback.

"Jangan! Ku mohon.. Paman." Pria brewokan dengan cerutu ditangan, tersenyum miring. Sekali lagi rokok tembakau yang ada ditangan ia isap dan setelahnya ia buang begitu saja. Pria berwajah bengis itu memandang gadis remaja tak berdaya dengan tampang mesum. Tak perlu pikir panjang, kancing bagian atas kemeja coklatnya telah ia buka.

Imperfections (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang