Setelah mengantar Venus kembali ke rumahnya, Kiana langsung pamit pergi dari sana. Sang pemilik rumah sudah sempat menawarkan untuk mampir sebentar, tapi yang ditawari menolak karena tidak ingin melihat orang yang berstatus sebagai saudari kembarnya.
Venus memutuskan untuk masuk dan langsung membersihkan dirinya yang sudah terasa lengket. Usai melakukan kewajibannya, kini ia mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang empuk miliknya. Netra kelamnya memandang keluar jendela, menatap langit jingga di luar sana dengan pikiran menerawang jauh.
"Ven, gak ada yang namanya kegagalan dalam hidup. Lo udah berusaha sekuat tenaga lo dengan bertahan hingga saat ini. Gue yakin, Tuhan gak akan tutup mata tentang itu."
Mengingat ucapan dari Abian membuat Venus tanpa sadar meneteskan air matanya. Dia menunduk, membiarkan air bening itu mengalir lebih deras. Menumpahkan rasa mengganjal yang tertanam di hatinya.
"Tuhan emang gak akan menutup mata, Abian. Tapi, sampai kapan gue harus berusaha? Sampai gue mati dua kali di dunia ini juga?" tanyanya seolah Abian sedang bersamanya.
"Cukup sekali gue mati tenggelem. Gue gak mau jadi manusia geprek juga!" serunya entah pada siapa. Agak kesal mengingat takdir Electra di tembak dan jatuh dari lantai 5, belum lagi kejadian itu akan disaksikan banyak pasang mata.
Ah, mengingatnya benar-benar membuat Venus ingin menonjok si penulis karena membuat plot berengsek seperti itu.
Venus mendesah panjang. Menghapus bekas air mata di pipinya. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah yang sudah terjadi. Lebih baik dia memikirkan bagaimana cara bisa masuk ke markas T-rex itu dengan cepat.
Semakin cepat maka semakin baik, pikirnya.
Berdiri dari posisinya. Venus berjalan keluar kamar, langkahnya menuntun ke ruang tamu. Kebetulan Vanca sedang berada di sana.
Mungkin terlalu fokus membaca bukunya, Vanca tidak sadar akan kedatangan Venus yang sudah duduk setengah berbaring di sofa. Sementara Venus memperhatikan saudari kembarnya yang tampak teliti membaca setiap kata yang ada di buku tersebut.
"Udah cantik, baik, rajin baca buku pula. Pantes aja lo gak dapet panggung, Electra."
Venus berkata dalam hati.
"Van," panggil Venus.
"Eh, sejak kapan kamu ada di sini?" Vanca menutup buku miliknya, menaruhnya di sebelahnya.
"Barusan," Venus menjawab seadanya.
Vanca mengangguk pelan tanda mengerti. "Ada apa?"
Venus terdiam sebentar seolah sedang berpikir. Kemudian berkata, "Gue pengen sepeda."
"Sepeda?" ulang Vanca memastikan pendengarannya. Dia bahkan membenarkan posisi duduknya menjadi tegak.
"Iya, gue pengen beli sepeda. Boleh?" pintanya sekali lagi.
Alasan dibalik mengapa Venus harus meminta izin pada Vanca adalah karena Vanca lebih tua lima menit dari dirinya sehingga orang tuanya menyerahkan semua masalah keuangan padanya. Jika bukan karena masalah itu, mungkin dirinya sudah meminta Kiana untuk mengantarnya ke toko sepeda.
Dan, alasan mengapa ia memilih sepeda, karena dia cukup lihai mengendarai kendaraan beroda dua tanpa mesin itu dalam 2 tahun terakhir.
Venus tidak ingin terus-terusan membuat repot pak Hadi meski pak Hadi memang dipekerjakan sebagai satpam sekaligus sopir.
"Van!" seru Venus melihat Vanca yang tampak melamun.
"Huh? Oh. Ya, boleh!" katanya menyetujui permintaan sang adik. "Mau beli sekarang atau besok?"
YOU ARE READING
ZENNUS: Zvezda
Teen FictionTidak pernah terlintas dalam pikiran Venus Arinka bahwa takdirnya mati tenggelam setelah mencoba menyelamatkan saudari tirinya. Tapi, siapa sangka jiwanya malah terlempar ke salah satu tokoh novel Je Te Veux, tokoh yang memiliki nama depan yang sama...