19 : Sampai Kapan?

2.1K 249 77
                                    

Bias jingga di ujung cakrawala terukir indah dalam remang. Di langit bebas sekawanan burung kembali pulang ke sarangnya. Embusan bayu mengiringi pucuk riak. Berlomba-lomba menuju tepian pantai, menghantam pasir dan batu karang yang menghantarkan percikan. 

Dua insan duduk bersama di pinggir pantai. Menikmati piringan swastamita yang hampir lenyap. Semilir angin tak ayal menerpa wajah mereka, memberikan sensasi tenang dan damai.

"Vanca."

"Ya?" Vanca menyahut dengan kepala menoleh, menatap empu yang memanggil namanya. 

Yang memanggil tidak langsung bersuara, seakan-akan sedang mengumpulkan keberanian.

"'Cinta gak perlu dipaksakan karena hati akan menemukan siapa pemiliknya. Tapi, di sisi lain lo harus berjuang demi menemukan siapa pemiliknya.'"  

Deg!

Itu adalah kata-kata yang pernah Vanca ucapkan pada saat pertama kalinya Reo mengungkapkan rasa ketertarikan padanya. Di mana keduanya sama-sama baru mengenal satu sama lain.

"Semua orang mengenal gue sebagai orang yang gak beradap dan selalu memaksakan kehendak. Gue gak akan menampik fakta itu. Tapi ...," Reo menghentikan ucapannya sebentar. Memandang langit jingga yang dipenuhi awan berarak menuju barat dengan tatapan teduh. 

"Setelah gue mengenal lo lebih jauh, gue belajar untuk menekan ego gue. Belajar semuanya gak bermula dari paksaan. Belajar bahwa kata berjuang dan berusaha itu ada dalam diri gue."

Semenjak Reo sadar bahwa ia memiliki rasa ketertarikan terhadap gadis bermanik legam itu. Dari saat itu juga dia meyakini bahwa perasaan hangat dalam hatinya adalah jembatan di mana dirinya harus mengubah strateginya dalam mendekati Vanca. 

Reo tidak semurah hati itu mengubah kepribadiannya yang buruk menjadi lebih baik hanya untuk seorang wanita. Katakanlah Reo berengsek, tapi itu adalah jalan di mana dia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya secara cepat. 

Namun, berbeda dari yang diprediksi olehnya. Tampaknya gadis yang menjadi targetnya sedikit lebih sulit. Upayanya dalam mendekati Vanca seperti bukan apa-apa di mata gadis itu.

Waktu terus bergulir sampai di titik Reo ingin menyerah, ingin mencari mangsa baru. Tapi, di sisi lain semakin dia mengenal gadis itu, semakin jatuh cinta dia dibuatnya. 

Sampai-sampai, Reo yang semula tidak ada kata berjuang dan berusaha dalam kamusnya, banting setir mengemis cinta sang pujaan hati. 

Mungkin saja musuh-musuhnya akan menertawakannya jika tahu dirinya melakukan hal semacam itu hanya demi seorang wanita. 

Pemuda itu menoleh, perlahan manik hitamnya menatap mata Vanca dalam. Pandangannya terkunci. Merasakan detak jantungnya yang menggila setiap gadis itu berada di dekatnya. Siapa pun yang melihatnya, pasti sudah mengira bahwa dia sedang dimabuk asmara. 

Reo kembali bersuara, "Gue berusaha, Van. Berusaha agar lo gak melirik siapa pun selain gue. Berharap lo percaya bahwa setiap aksi dan ucapan yang keluar dari mulut gue bukan omong kosong belaka." 

Vanca diam mendengarkan. 

"Berulang kali gue nyatain perasaan gue ke lo, sebanyak itu juga lo minta gue untuk menunggu." Reo membasahi bibir bawahnya, "Tapi, sampai kapan?"

Vanca bergeming. Perasaan bersalah seketika membuncah menyesakkan hatinya. Merasa terbebani setiap Reo menyatakan perasaannya. Mulutnya berkata ingin menolak, namun hatinya berkata lain, terlalu sakit untuk melepaskan seolah-olah menginginkan hubungan berstatus itu.

Seperti yang dikatakan oleh pemuda itu, Vanca selalu mencari alasan untuk menolak pernyataan cintanya dan memintanya untuk menunggu. Yang anehnya alasan-alasan tersebut terdengar masuk akal bagi Reo sendiri. 

ZENNUS: ZvezdaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant