Raesha melengos. Yunan mungkin yang salah paham, batinnya. "Kak, itu tempat liburan terbuka. Mana aku bisa larang? Malik mau duduk di mana, itu terserah dia. Jangan khawatir, Kak. Kami gak berduaan aja. Ada anak-anak. Dan Malik bawa keponakannya juga."

"Iya memang. Tapi kalian satu-satunya orang dewasa di sana. Yang lainnya anak-anak semua!" omelan Yunan masih berlanjut.

Raesha mengusap mukanya, menahan emosi jiwa. "Terus aku harus gimana, Kak? Itu bukan salahku kalau dia datang ke sini untuk liburan sama keponakannya!"

"Apa dia mengajakmu ngobrol soal pribadi?" tanya Yunan. Nada cemburu terasa kentara pada pertanyaannya.

"Enggak, Kak. Dari tadi banyak orang minta foto bareng. Mana sempat bicara hal pribadi?" jawab Raesha menghela napas.

"Berarti, kalau ada kesempatan, kamu mau bicara hal pribadi sama dia??" tanya Yunan setengah membentak.

Raesha bengong. "Enggak, Kak. Ya Allah--" Kenapa sih dia? batin Raesha terheran-heran.

"Kakak gak suka kamu terlalu sering keluyuran kayak gini! Kamu harus bisa menjaga dirimu! Tanpa kamu sadari, banyak orang mengincar kamu, pasti!"

Alis Raesha berkerut dalam. "Banyak orang? Siapa? Kenapa?" tanya Raesha dengan ekspresi bingung.

"Laki-laki di luar sana pasti banyak yang -- soalnya, kamu --" Kalimat Yunan mengambang di sana. Ia tak sanggup menyelesaikannya.

Soalnya, kamu janda muda, sangat cantik, sangat baik, lembut tutur katanya dan kaya raya. Mau bilang begitu, tapi malu.

"Sudahlah! Mana Malik? Kakak mau bicara langsung dengannya! Waktu itu Kakak merasa sudah bicara dengan jelas, agar dia menjaga jarak denganmu!"

Raut wajah Raesha berubah kesal. "Gak mau! Aku gak mau lihat Kakak ketus sama temanku lagi, kayak waktu Malik nganter aku pulang malam itu! Aku gak mau!! Aku malu, Kak!!"

"Berapa kali Kakak harus bilang kalau dia bukan temanmu! Kamu harus waspada dengannya!"

"Kenapa aku harus waspada dengannya?? Malik terlihat baik! Dia juga baik sama anak-anak!" bela Raesha.

Hening. Diamnya Yunan, malah membuat Raesha takut. "Kak?" panggil Raesha lembut.

"Terserah kalau kamu gak percaya sama Kakak. Kamu lebih percaya sama teman barumu yang baik itu, 'kan?"

"B-Bukan gitu, Kak. Maksudku --"

Terdengar nada 'tuut' yang monoton. Yunan memutuskan sambungan telepon? Raesha melotot menatap ponselnya. Celaka! Yunan belum pernah marah sampai memutuskan sambungan telepon tanpa salam. Belum pernah sekalipun.

Raesha berjalan kembali ke mejanya, dengan perasaan tidak keruan. Gawat ini. Seumur hidup, pertama kali melihat Yunan marah, adalah saat dirinya dulu dipergoki Yunan sedang jalan dengan teman laki-lakinya di sebuah mall. Waktu itu Yunan marah besar sampai membentaknya di depan umum. Raesha sampai bingung bagaimana menenangkan Yunan. Raesha kemudian memeluk Yunan dari belakang. Emosi Yunan lalu mencair setelahnya.

Tapi sekarang, dia tidak mungkin melakukan itu, sekalipun Yunan ada di sini.

Raesha menggigit bibir, merasakan debaran jantungnya tak keruan. Dia benci tiap kali bertengkar dengan Yunan. Kenapa sih, Kak Yunan harus tinggal jauh di Sumatera Barat? Kenapa tidak tinggal dekat dengannya saja? Supaya semua kesalahpahaman bisa diselesaikan, seperti malam itu waktu Malik mengantarnya pulang. Kalau Yunan dekat dengannya --

Mata Raesha berkaca-kaca. Tidak! Jangan menangis! Raesha merasa kehamilan ketiganya ini membuat dirinya sangat sensitif. Mungkin bawaan orok.

Malik berdiri saat melihat Raesha mendekat.

ANXI EXTENDEDWhere stories live. Discover now