28 | Tentang Zia

3 1 0
                                    

Davin

Gila! Keren banget akting lo tadi.
Untung gue sama Devan
datang tepat waktu.
Telat sedikit aja bakal
gagal dapetin muka D
anu yang kayak gitu wkwk.

Bibirnya tertarik untuk menciptakan senyum tipis. Kejadian tanpa rencana tadi siang memang terjadi sangat tiba-tiba. Ia bersyukur, karena dengan datangnya Devan dan Davin, tidak akan ada yang berubah antara hubungannya dan Danu.

Namun, semenjak kejadian tadi cowok itu belum juga membalas pesannya meski ia sudah mengirimnya beberapa kali. Wajar jika Danu marah karena ia mengira Zia yang merencanakan itu, dan menurut Zia itu tidak masalah karena yang dia tahu, cowok itu tidak akan marah dalam waktu yang lama.

Jadi gimana?
Danu udah mau maafin kalian?


Udah.
Pas kita kejar dia langsung dimaafin.
Tapi kepala gue ditempeleng
sama dia.
Anjir. 

Haha.
Masih mending ditempeleng.
Lah, Zia didiemin, astagfirullah.


Didiemin? Serius lo?

 
Iya!
Udah, ah, biarin,
nanti juga dia ngomong sama Zia.

Beberapa menit berlalu, pesan itu belum juga dibalas oleh Davin. Gadis itu kini memilih untuk keluar kamar dan duduk di sofa dengan TV yang ia nyalakan.

Mengungkapkan perasaan ternyata lebih membuat hati tenang ketimbang memendamnya sendirian, dan itulah yang Kanzia rasakan saat ini. Hatinya sekarang terasa lebih lega daripada sebelumnya, meskipun segala rasanya tidak akan terbalas.

Layar TV yang menampilkan siaran talk show tidak benar-benar menghiburnya saat ini, bahkan cenderung membuatnya bosan dan memilih beralih pada ponsel. Aplikasi Instagram adalah pilihannya saat ini, tak banyak yang ia lakukan selain menarik ulur kabar berita, bahkan puluhan pesan yang masuk ia abaikan.
Seketika tangannya berhenti bergerak pada akun Instagran milik sang kakak kelas; ArjunaSrq.

Di foto tersebut terlihat Juna yang sedang duduk dan ada kepala perempuan yang bersender di bahu kirinya. Awalnya Zia sempat bingung melihat foto itu sebelum pada akhirnya membaca caption, Be a strong girl, Sister.
Zia ingat Juna memang memiliki adik perempuan yang umurnya tidak terpaut jauh darinya meskipun Zia belum pernah bertemu. Tiba-tiba satu pesan Whatsapp masuk, membuat pandangannya beralih.

Kak Juna

Gimana remedialnya? Bisa?

Alhamdulillah lancar.

Bagus, dong.
Besok ikut gue. 
Gue mau ajak lo ke suatu tempat.

Tangannya bergerak untuk membalas pesan tersebut, tetapi seketika terhenti saat ketukan di pintu membuat pandangannya teralih.

"Zi!"

Mendengar suara Rida, dengan cepat gadis itu bergerak untuk membukakan pintu. Tepat setelah pintu itu terbuka, sorot ragu terlihat jelas pada mata wanita paruh baya tersebut.

"Bunda kenapa?" tanya gadis itu dengan kernyitan yang sudah lebih dulu hadir.
"Boleh Bunda masuk dulu?"

Mendapat anggukan dari Zia, Rida melangkahkan kaki masuk ke dalam kemudian duduk di atas sofa. Sebelum mengatakan semuanya pada gadis ini, ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap buku yang sejak tadi ia bawa.

Zia ikut duduk di sebelahnya dengan raut bingung yang masih telihat di wajahnya. "Bun? Ada apa?"

Rida menoleh kemudian memberikan buku itu. "Udah saatnya kamu untuk tahu."

"Maksud Bunda?"

"Semuanya ada di dalam buku ini. Ibu kamu minta Bunda buat nutupin ini semua sampe umur kamu enam belas tahun."

Zia semakin tidak mengerti tentang arah pembicaraan Rida. Karena penasaran, akhirnya ia membuka buku bersampul cokelat tersebut. Di lembar pertama, ia menemukan sebuah amplop yang sudah usang, matanya beralih menatap Rida.

"Surat itu adalah inti dari semua isi di dalam buku ini," kata Rida saat Zia belum sempat bertanya.

Tangannya bergerak pelan membuka amplop tersebut, kemudian membaca isinya dalam hati.

Dear Kanzia,

Sayang, sebelumnya Ibu mau ngucapin selamat ulang tahun yang keenam belas. Pasti kamu cantik banget sekarang.

Terima kasih udah bisa jadi sekuat yang Ibu harapkan, meskipun Ibu udah nggak ada di samping kamu.

Maaf karena Ibu nggak ada di hari-hari kamu yang sekarang, maaf karena Ibu nggak ada di saat kamu butuh teman curhat, di saat kamu butuh pelukan hangat untuk meredakan kesedihan, yang harus kamu tahu, Ibu nggak pernah berhenti sayang kekamu meskipun raga Ibu udah nggak ada lagi di bawah langit.

Di sini, Ibu mau bilang rahasia paling besar yang ada dalam hidup Ibu, rahasia kenapa ayah bisa semarah itu ke Ibu dan kamu. Bukannya Ibu nggak mau bilang dari dulu, Ibu cuma butuh waktu yang tepat untuk kamu ngerti.

Kamu bukan anak kandung ayah.

Sebelum menikah dengan ayahmu, Ibu sebenarnya sudah lebih dulu memiliki pacar yang berstatus suami orang, tapi dia pergi ninggalin Ibu karena tahu Ibu mengandung anaknya. Dia lebih milih keluarganya daripada bertanggung jawab atas janin yang Ibu kandung.

Dan anak itu adalah kamu.

Ayahmu sama sekali nggak tahu kalau Ibu hamil di saat orang tuanya menjodohkan kami berdua. Ibu berhasil nutupin ini rapat-rapat. Tapi, sebaik-baiknya Ibu nutupin semuanya bakal terungkap pada waktunya.

Di umur kamu yang menginjak tujuh tahun, ayah mulai curiga pada pesan yang masuk di ponsel Ibu yang menanyakan tentang kabar kamu. Ayah penasaran dan meminta penjelasan pada si pengirim pesan, dia mengaku kalau kamu adalah anak kandungnya. Ayah memaksa Ibu untuk jujur, tapi ibu menolak. Akhirnya, ayah memutuskan untuk tes DNA antara kamu, ayah dan laki-laki yang mengirim pesan tersebut.

Dan hasilnya kamu positif anak dari laki-laki itu.

Ayah nggak bisa terima kenyataan dan mulai saat itu, ayah mulai membenci Ibu dan kamu. Ayah mulai menyiksa Ibu dan ingin membunuhmu. Keadaan ayah semakin buruk ketika ia memilih untuk bermain judi dan mabuk-mabukan, setiap harinya hanya diisi dengan dua hal itu.

Ibu melarang, tapi Ayahmu akan menyiksa Ibu setiap kali melihat wajah Ibu. Kamu ingat pas Ibu sering minta kamu ke rumah Danu? Ibu cuma nggak mau kamu ikut disiksa kayak Ibu.

Sayang ..., Ibu minta maaf. Ibu tahu, ayahmu nggak akan mungkin nerima kamu lagi meskipun kejadian itu sudah berlalu bertahun-tahun lamanya. Jadi, Ibu minta kamu cari ayah biologis kamu, Ibu yakin dia bakal nerima kamu dan menjaga kamu.

Kanzia sayang, sekali lagi Ibu minta maaf.

Yang tetap menyayangimu meski tanpa raga,

Ibu.


Air mata sudah banyak mengalir lewat pipinya, dengan mata yang sudah sembab, Zia beralih menatap Rida yang juga menitihkan air mata. "Bunda ..., ini semua bohong, kan? Zia anak kandung ayah, kan?" Kepalanya menggeleng tidak percaya dengan isi di dalam surat tersebut.

"Bunda ..., jawab Zia." Zia terisak, ia tidak menyangka bahwa Rida menyimpan sebuah rahasia besar tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Kenyataan memang lebih sering menimbulkan luka ketimbang bahagia.

Rida memeluk tubuh rapuh itu kemudian mengelus puncak kepalanya. Ia sudah tahu dengan apa yang akan terjadi pada Zia saat mengetahui kenyataan ini, tetapi ia lebih tidak tega melihat gadis itu hidup sendirian tanpa orang tua yang menemaninya.

Gadis itu masih terisak dalam pelukan Rida, di saat seperti ini bukan sebuah jawaban yang Zia perlukan tapi sebuah pelukan untuk membantunya kuat agar bisa menerima kenyataan. Ia membiarkan Zia terisak sekuat yang ia bisa, melepas segala kekecewaannya atas kenyataan yang baru saja ia terima. Sementara di depan rumah gadis itu, Danu mendengar tangisan tersebut.

*****

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Where stories live. Discover now