26 | Matahari dan Langit

3 2 0
                                    

Tepat sehari setelah Kanzia Razita berumur enam belas tahun, Juna mengajak Zia pergi ke suatu tempat sebagai hadiah. Untung saja jadwal pelaksanaan remedial diundur sehingga gadis itu dapat menerima ajakan sang kakak kelas.

Setelah berkendara beberapa menit, mereka tiba di taman mangrove, Pantai Indah Kapuk. Juna suka tempat itu karena suasana alam yang kental menjadi daya tarik.

Tak butuh waktu lama agar Zia dapat berdecak kagum sambil menikmati pemandangan sekitar. Meski termasuk orang yang suka tempat wisata modern, bukan berarti ia tidak menyukai tempat-tempat dengan nuansa alam seperti sekarang.

Karena Juna membawa kamera, ia memilih untuk memotret lingkungan sekitar. Sesekali ia juga memotret Zia yang mengagumi tempat itu tanpa ketahuan. Benar kata orang, kebahagiaan tidak melulu tentang harta. Sebab melihat seseorang menampilkan senyuman, mampu membuat hati berdetak tak karuan.

"Udah pernah ke tempat ini?" tanya Juna setelah menangkap potret Zia yang bergaya konyol karena menyadari sorotan kamera sang kakak kelas.

"Belum." Zia tersenyum ke arah Juna. "Kok, Zia suka sama alam terbuka gini, ya? Tenang gitu lihatnya," lanjutnya.

"Itu yang pengin gue tunjukin ke elo. Setahu gue, lo suka ke mall, kan, kalo bosen di rumah? Makanya gue bawa lo ke tempat yang beda."

Zia terkekeh. "Iya, bener! Kalo enggak mall, pasti ajak yang lain ke Dufan. Jarang banget ke wisata alam kayak gini."

Setelah berjalan melewati jalan yang beralaskan sususan kayu, langkah mereka berhenti pada satu tempat yang lebih indah dari tempat sebelumnya. Memang tidak jauh berbeda dari tempat yang lain, tetapi yang membuat tempat ini terlihat indah adalah pemandangan laut yang luasnya seluas mata memandang, juga pemandangan jingga akibat matahari yang akan tenggelam.

Zia berteriak kegirangan. Senja yang dilihat hari ini lebih indah daripada yang biasa ia lihat di rooftop kafe milik sang tante. Di sana, sinar jingga itu tak hanya menyebar pada langit, tetapi di permukaan air laut yang seakan menyatu dengan langit.

Tak ingin melewatkan detik-detik itu, Zia memotretnya melalui ponsel dan tak lupa mengunggah di Instastory. Hal-hal seperti ini memang sangat sayang jika dilewatkan.

"Suka?" tanya Juna.
"Suka banget!" seru Zia girang kemudian tersenyum. "Makasih, ya, Kak."

Juna mengangguk. "Menurut lo, apa yang romantis dari matahari tenggelam?"

"Senja dan langit." Menurut Zia, senja adalah waktu paling romantis ketika matahari terbenam. Melihat Juna hanya tersenyum tipis, ia melontarkan pertanyaan yang sama. "Emang menurut Kak Juna, apa?"

"Matahari."

Zia mengernyit. "Lah? Kenapa matahari? Kan, matahari yang tinggalin langit."

"Justru matahari terlalu cinta sama langit sampai enggak rela kalo langit merasakan gelap sendirian di saat dia harus pergi. Jadi, matahari meninggalkan secercah cahaya untuk bulan yang sebenarnya enggak ada cahaya sama sekali. Meskipun cahaya itu enggak akan seterang matahari, tapi setidaknya matahari enggak pernah biarin langit kehilangan penerang."

Zia mengangguk mengerti. Satu hal yang dapat ditangkap dari penjelasan Juna tadi adalah tak apa-apa jika tidak selalu berada di sisi orang yang kita cintai, asal dapat memastikan bahwa ia akan baik-baik saja setelah kita pergi.

"Bener, kan?"

Zia mengangguk kemudian menoleh ke arah Juna. Ia melihat cowok itu sedang menatapnya dengan lekat. Ia ingin kembali menatap senja, tetapi seluruh sarafnya mengkhianati perintah otak. Ia justru ikut masuk dalam mata hitam sepekat malam dan setenang air itu. Bersamaan dengan senja yang kian meredup, mereka terperangkap dalam bayangan masing-masing.

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz