16 | Awal mula luka

5 2 0
                                    

Anak kecil itu tergeletak di atas aspal sambil menghadap awan hitam. Air hujan turun perlahan membasahi tubuhnya. Ia ingin membuka mata saat terdengar jeritan yang tidak jauh darinya, tetapi matanya seolah tidak bisa dibuka. Ia dapat mendengar dengan jelas teriakan pilu sang ibu yang bercampur dengan suara amarah dari sang ayah.

"Bangun, Nak! Pergi dari sini!"

Suara itu terus terdengar di telinganya berulang kali. Ia berusaha menggerakkan tubuh, tetapi ia merasakan sakit di sekujur tubuh. Ditambah rinai hujan yang membuat luka itu semakin terasa.

"Ibu enggak apa-apa. Kamu harus pergi dan selamatkan diri kamu!"

Lagi, suara itu terdengar jelas di telinganya. Dengan berat, ia melawan rasa sakit dan mencoba membuka mata.

"Bangun, Nak! Ibu yakin kamu bisa karena kamu kuat."

Tepat setelah ucapan terakhir dari sang Ibu, matanya terbuka. Yang pertama kali menyambut kala itu adalah rinai hujan yang berhasil masuk ke dalam mata. Sambil menahan rasa sakit, ia perlahan bangkit untuk menuruti perkataan Azura, Ibunya.

Namun, tepat setelah bangkit, tubuhnya kembali luruh di atas aspal. Ia berteriak sekuat mungkin demi membangunkan Azura yang sedang memejamkan mata. Rasanya ia ingin berlari ke arah sang Ibu, tetapi kakinya tidak sanggup walau hanya sekadar berdiri. Air hujan yang kian deras juga seakan menambah pilu yang dirasakan.

Ia mengedarkan pandang demi mencari sang ayah. Namun, ia gagal. Ia sama sekali tidak melihat orang lain di tempat itu selain dirinya dan Azura. Karena tak bisa berdiri, ia memilih merangkak agar dapat menghampiri tubuh Azura yang sudah terbaring lemah. Ia tak peduli dengan rasa sakit pada lututnya yang mulai mengeluarkan aliran darah. Ia hanya ingin memeluk Ibu.

Setelah bersusah payah merangkak, akhirnya ia tiba pada tubuh Ibunya yang terkulai lemah. Ia pun menjatuhkan tubuhnya agar bisa memeluk tubuh itu.

"Ibu, bangun! Tolong jangan tinggalin Zia!" Dengan suara serak bercampur isakan, ia terus mengulang dua kalimat itu sambil memeluk erat tubuh Azura yang hampir dipenuhi darah.

Di sana, darah segar masih mengalir dari perut sang ibu. Beberapa tusukan itu membuat darah mengalir deras tanpa henti. Gadis itu melihat sekelilingnya  berusaha mencari kain atau apapun yang bisa menutupi luka ibunya.

"Zia...."

Sebuah suara pelan nan serak berhasil membuat kepala anak itu teralih. Akhirnya Azura membuka mata. Ia tersenyum sejenak karena yakin jika sang Ibu tidak akan pernah meninggalkannya seorang diri.

"Ibu...," katanya dengan tangis yang mulai mereda.

Azura berusaha tersenyum dan memegang pipi gadis kecilnya. "Kamu yang kuat, ya. Ayah enggak bakal nyakitin kamu lagi, kok. Jangan pernah berhenti senyum meskipun kamu dalam keadaan terluka. Ibu pergi dari rumah, ya. Ibu sayang kamu."

Setelah mengucapkan kalimat itu, mata Azura kembali tertutup dan tak akan pernah terbuka lagi. Tertutupnya mata itu menandakan jika gadis kecil yang sedari tadi berusaha menghampiri akan memulai hidup baru. Hidup yang penuh rintangan dan harus dijalankan dengan ikhlas sambil terus tersenyum.

"Enggak! Ibu enggak boleh pergi! Bu! Bangun! Jangan tinggalin Zia...." Tangis gadis itu semakin pecah, bahkan lebih parah daripada sebelumnya. "Ibu enggak boleh pergi!"

Gadis kecil itu terisak dengan tubuh yang seakan baru saja dihantam oleh benda keras hingga tak berdaya melakukan apa pun selain menangis. Di usia yang masih tujuh tahun, ia harus kehilangan alasannya untuk bertahan hidup. Kepergian sang Ibu seakan merenggut kebahagiaannya.

****

07.40 WIB

Kanzia

Danu
Bisa ketemu sebentar?

Danu menatap nanar pesan yang gadis itu kirim untuknya. Ia sengaja tidak membalas, membiarkan Kanzia dengan rasa bersalah yang masih menyelimuti. Ia melakukan ini bukan karena ingin menyakiti gadis itu, Danu hanya ingin belajar untuk mengontrol emosinya ketika bersama Zia.

Menjauh bukan berarti ia tidak ingin dekat dengan gadis yang pernah ia cintai itu. Apalagi saat mendengar isakan dari kamar Zia yang bersebelahan dengan kamarnya. Cowok itu sempat melihat ke arah jendela Zia, tetapi ragu ingin memanggil. Rasanya ia ingin sekali memeluk gadis itu saat kesedihan menghampirinya. Seperti waktu itu.

Helaan napasnya terdengar sekali lagi sebelum Danu beranjak dari tempat tidur. Setelah membereskan tempat tidur, ia beranjak untuk mandi.

Sementara di ruang makan rumah Danu, Rida sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya, dibantu oleh gadis yang selama ini ia anggap sebagai anak perempuannya; Zia.

"Duh, repot-repot kamu, " ucap Rida saat melihat Zia membawa lauk dari dapur untuk diletakkan di atas meja makan. "Kamu duduk aja, Sayang."

"Nggak apa-apa Bunda ...  Zia, kan, nggak minta bayaran, " balas Zia yang diakhiri dengan kekehan.

Rida ikut tersenyum. "Kamu ini. "

Setelah makan siap di atas meja Rida memanggil suami dan anaknya turun untuk ikut sarapan bersama.

Zia sudah duduk di meja bersama Rida, sambil bercerita tentang keadaan sekolah dan konten mereka. Biasanya jika dia dijahili oleh ketiga sahabatnya, Zia akan mengadu kepada Rida untuk mendapat pembelaan.

"Jadi kalian udah ada personil baru, ya?"

Zia mengangguk. "Iya Bun, cantik. Makanya viewers kita naik lagi, deh."

"Secantik apa, sih? Masa iya lebih cantik dari kamu. "

Suara itu bukan berasal dari Rida, melainkan dari suaminya, Anton.

"Eh Om Anton," tegur Zia sedikit canggung.

Tak lama, Danu ikut duduk di meja yang sama. Biasanya cowok itu akan duduk di sebelah Zia, kini ia memilih duduk berseberangan dengan gadis itu.

Kanzia tersenyum getir, kemudian menyendok makanan ke piringnya setelah diperintahkan Rida.

Sambil menyendok makanan ke dalam mulut, sesekali gadis itu menoleh ke arah Danu yang memainkan ponsel sambil makan. Melihat itu, ia langsung mengambil ponselnya dan mengirim pesan lagi meskipun ia ragu pesannya akan dibalas.

"Kamu rencana kuliah dimana?" Anton memulai percakapan di atas meja makan itu.

Zia yang baru mengirim pesan sempat melihat Danu melihat ponselnya sebelum meletakkannya di atas meja dan menjawab pertanyaan ayahnya.

"Aku mau coba negeri dulu, Pa," jawab Danu. "Mau coba UI, deh, kayaknya."

Anton mengangguk paham, pilihan anaknya sudah pasti tepat. "Kalau kamu, Zia?"

Gadis itu sontak menoleh kaget ia akan menerima pertanyaan itu juga. Ia tersenyum ragu, "belum kepikiran Om. Kan masih kelas sebelas. He-he!"

"Harus dipikirkan dari sekarang, dong," ucap Anton lagi.

"Paling Zia ngikut kemana Danu. Kan biasanya gitu." Rida ikut masuk ke obrolan mereka. Kemudian menoleh ke arah sang anak. "Kalian harus sering belajar bareng, biar bisa sama-sama masuk UI."

Zia melihat cowok itu hanya mengangguk tanpa menjawab. Sejak tadi Danu tidak menatapnya sedikitpun, seolah-olah, Zia tidak ada di sana. Gadis itu kemudian menunduk melihat pesan yang ia kirim tadi hanya dibaca, tanpa dibalas.

Ia merasa Danu sepertinya sudah benar-benar tidak ingin berhubungan dengannya lagi. Bahkan saat dirinya ada di depan mata, ia lagi-lagi diabaikan.

*****

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin