26 | step on up

Mulai dari awal
                                    

Sementara di sisi lain, Sagara sedang menatap tanah kosong di hadapannya. Ini sudah tempat kedua yang mereka datangi tapi Sagara sama sekali belum merasa tempat ini cocok untuk coffee shopnya nanti. Lahan parkirnya terlalu sempit, Sagara juga tidak mau mengambil jalanan umum sebagai tempat parkir pelanggannya nanti.

"Sempit ya?" tanya Eric menatap Sagara yang sedang menghisap rokoknya.

"Iya," jawab Sagara, "dimana lagi?"

"Agak dipinggir kota sih, tapi nggak terlalu pinggir."

"Kita liat dulu," Sagara membuang putung rokoknya ke tempat sampah setelah memastikan bahwa rokoknya sudah padam, "kalau nggak cocok juga, besok gue cari sendiri."

Di tempat terakhir mereka, Sagara sempat diam lama sembari bejalan ke arah kiri dan kanan dari tanah itu. Awalnya saat melihat tempat ini, Sagara merasa cocok dan luasnya pas seperti apa yang ia harapkan. Tapi setelah melihat di dekat sini ada coffee shop lain dan tak jauh dari sana juga ada tempat hiburan malam, Sagara memutuskan untuk cari sendiri saja. Eric sangat amat membantunya dalam memilah-milih posisi yang pas untuk berdirinya sebuah coffee shopnya nanti. Namun, namanya juga Sagara.

Sekali tidak cocok, tetap tidak cocok. Walaupun luasnya sudah pas dan harganya sesuai dengan budgetnya. Tapi kalau nantinya coffee shopnya tidak berjalan sesuai dengan keinginannya, Sagara tak mau hal itu terjadi.

"Btw Gar, sabtu sama Dicky mau kemana?"

"Bali," jawab Sagara, "mau liat barangnya sebelum teken kontrak sama petani di sana."

"Biji kopi?" tanya Eric yang dijawab anggukan oleh Sagara, "lo sampe turun sendiri nanganin biji kopi, Gar?"

"Kalau bukan gue, siapa lagi Ric?"

Eric diam, ia memperhatikan Sagara yang sedang memainkan ponselnya lalu berjalan menuju motornya. "Balik? Nggak ikut kumpul sama Anak-Anak?"

Sagara menggeleng lalu memakai helmnya. "Gue mau ke rumah sakit. Kalo sempet gue nyusul."

Di sisi lain, Logan sedang menunggu Nesya di kursi samping toilet. Sudah hampir 5 menit Nesya berada di dalam sana dan belum keluar juga. Katanya perutnya masih mual dan ia masih ingin mengeluarkan isi perutnya lagi. Di dalam, Nesya sedang duduk di lantai toilet sembari memejamkan matanya erat. Perutnya mual dan sakit di kepalanya tak kunjung hilang walaupun ia sudah mengonsumsi banyak obat, tapi ia rasa semua obat itu sudah tidak mempan. Karna kepalanya sakit dan semua yang ia lihat seperti berputar, makanya hal itu yang membuatnya mual juga.

Kondisi ini ia sudah alami selama seminggu terakhir. Tapi ia sama sekali tak berani memberi tahu siapapun karna ia tak mau membuat orang-orang khawatir akan dirinya. Kedua orang tuanya, Sagara maupun Dokter. Satu-satunya yang tau kondisinya seperti ini adalah Logan. Itupun karna Logan pernah memergokinya sedang mengeluarkan isi perutnya di toilet dengan pintu toilet yang tidak tertutup rapat.

Karna hal itu, Logan yang seharusnya kerja malam ini jadi memindahkan jam kerjanya pada hari libur nanti. Biasanya, yang menjaganya di sini adalah Bundanya. Tapi karna akhir-akhir ini butik Bundanya sedang ramai, jadi Bundanya harus lebih banyak menghabiskan waktu di butik. Sementara Nesya selalu ingin ditemani oleh Sagara, tapi akhirannya malah Logan lagi yang menjaganya.

"Gan, udah," ucap Nesya membuat Logan langsung masuk dan mengangkat tubuhnya dengan gampang, "makasih ya Logan."

"Padahal baru makan dikit, tapi udah dikeluarin lagi."

Nesya tersenyum tipis. "Kepala gue sakit banget Gan, kadang gue nggak tahan."

"Bilang aja ke Dokter."

"Gue cari di internet, katanya emang gitu, percuma kalau bilang ke Dokter juga," Nesya menarik selimut hingga menutupi setengah tubuhnya, "waktu cepet banget berjalan ya? Gue bahkan nggak pernah sempat untuk pakai sepatu yang kalian beliin buat gue."

love me wellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang