4. Angkara Jean

419 40 5
                                    

            Adalah bunyi tempat bekalnya kala terhempas memecah atensi gelumat kantin istirahat kedua.

            "Lo jalan gimana sih? Gak becus banget!"

            Naraka bergeming di posisi duduknya usai tersungkur di atas permukaan lantai kotor sebab isi bekalnya seluruhnya telah tumpah sia-sia. Pun belum satu suapan masuk ke mulutnya. Bekal buatan Bibi Irah itu telah berceceran mengotori lantai dekat meja berisikan Yudha dan teman-temannya.

            Ya. Siapa lagi jikalau bukan Yudha—seseorang minim empati beberapa detik lalu mengganjal kakinya saat Naraka sudah berbaik hati merelakan uang jajannya dijarah kemudian membelikan dan mengantarkan langsung makanan pesanan Yudha di kantin.

            "Wajar aja lah, Yud. Anak cacat," timpal Barata seraya menuangkan sisa es jeruknya yang tinggal setengah ke puncka kepala Naraka. Posisinya sangat cocok sebab Naraka terjatuh tepat di sampingnya, di sisi terpinggir meja. Lagi-lagi sengaja mempermalukan Nara untuk jadi bahan tontonan di depan banyak orang.

            "Ck, sepatu gue kena sambal lo, anjing! Bersihin!" Yudha menyentak. Melemparkan pandangan rendah pada Nara. Sementara seisi kantin sudah terlalu biasa menemukan seorang Naraka—siswa tinggal kelas sayangnya anak dari donatur terbesar di sekolah dan merupakan saudara dari kedua pangeran sekolah mereka—itu dijadikan subjek rundungan.

            Bagaimana tidak, sikap pendiam, pemalu, selalu menunduk, sering gugup, jikalau menjawab dengan suara bak mencicit itu tidak dijadikan olok-olokan sekolah? Pun sangat terbanting jauh dengan kesempurnaan fisik dan prestasi yang dimiliki oleh kedua saudara kandungnya yang juga murid paling dikagumi di sekolah.

            Atas selinap nyali mendadak menguap di permukaan, Nara berusaha bangkit dari posisi memalukannya sembari mencicit disertai lirikan separuh bimbang sekadar membela diri, "Ta-tapi, Yudha yang ganjal kaki—"

            "Shit! Lo ngelawan, Sampah?" Orion lekas berdiri dan memukul kepala Naraka dari belakang dengan tenaga tidak main-main. Menyebabkan refleks lemah dan tubuh tak bertenaga sebab belum sarapan dari pagi itu limbung lantas tersungkur Kembali ke lantai. Kali ini wajah Naraka langsung berhadapan dengan sepatu mahal milik Yudha. "Bersihin, Cacat. Atau lo mau kulit lo yang jadi korban kayak hadiah di Gudang sekolah kemarin. Pilih mana?"

            Sontak saja secuil nyali Naraka padam. Selalu begini. Pendar matanya bergulir panik. Sebab ingatannya Kembali terputar bagaimana sensasi panas membakar kulitnya saat Yudha dan teman-temannya menyulut kulit leher dan tangannya tampa ampun. Pun secara impulsif, Nara menggeleng seraya tangan bergerak menuju kerah leher berkancing ketat miliknya. Mengusap-usap kulit lehernya secara defensif. Nara terlampau takut atas ancaman itu.

            Alhasil, tanpa ingin merasakan sakit, kendati aksinya akan melucuti harga diri, Nara mengarahkan tangannya untuk membersihkan jejak sambal di sepatu Yudha.

            "Nah, gitu dong, nurut! Biasanya lo nurut juga," Orion memuji Naraka dengan satu tangan menggeplak kepala Naraka lagi. Disusul tawa Yudha dan Barata kemudian mengisi pertunjukan perundungan itu di kantin.

            "Biasalah, udah cacat, bodoh lagi. Cuma dia yang tinggal kelas di sejarah SMA kita. Gue ragu sih otaknya masih ketinggalan di rahim wanita yang sialan banget udah lahirin dia,"

            BRUGH!

            "ANJING!"

            Derai tawa Barata saat menghina Naraka dengan suara lantang semula begitu lepas membahana penjuru kantin kini tergantikan umpatan tatkala punggungnya ditendang oleh kaki seseorang dari belakang. Barata meringis panjang, sakitnya tidak biasa. Serasa tulang punggungnya nyaris mengalami fraktur.

Sejenak LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang