3. Titik Apatis Arkan

391 41 2
                                    

"Uji rancob-nya minggu depan bisa dimulai. Dua minggu lagi seleksi untuk maju di tingkat nasional, jadi kamu dan timmu bisa segera rampungkan semuapersiapannya minggu ini,"

"Baik, Bu."

"Arkan, ibu tidak usah lagi meragukanmu dalam ajang robotik ini-tapi ibu minta tolong kamu lebih perhatikan diri kamu lagi, ya?"

Sontak kening Arkan mengerut, pertanda bingung. Agaknya tak lekas paham akan makna perkataan guru bimbingannya tiap kali ia dipercayakan menjadi ketua tim ajang robotik perwakilan dari sekolah. Sejauh Arkan menjadi perwakilan, tak pernah sekalipun ia tidak membawa medali minimal perak, itu pun sudah di tingkat perlombaan standar internasional.

Wanita berumur 40-tahunan mematri senyum simpul, lantas menepuk bahu salah satu murid kebanggaan plus kesayangannya dua kali penuh afeksi. "Kamu terlihat kurusan, wajahmu juga seperti orang kelelahan."

Arkan termangu dalam butir pertanyaan terpendam di benak, benarkah demikian halnya?

"Istirahat kalau capek, ya, Arkan. Jangan dipendam semuanya sendiri. Jangan terlalu memaksa diri."

Terlalu tidak menyangka akan memeroleh nasihat sejenis itu untuk Arkan yang terbiasa menunjukkan ketagguhan diri. Hanya anggukan Arkan beri. Begitu sesi bimbingan akan proyek robotik timnya telah usai, guru wanita itu pergi meninggalkan Arkan seorang diri di laboratorium fisika itu.

Jam istirahat pertama masih berlangsung, mungkin sekitar sepuluh menit lagi akan berakhir. Arkan putuskan untuk tetap berdiam habiskan masa merenungi perkataan gurunya beberapa sekon lalu.

Dengan decakan sarat tak puas, tangannya lepaskan bingkai kacamata dari tulang hidung bangirnya. Memijat pelan dengan jemari pada kulit berbekas timpaan gagang kacamata minusnya.

Selama beberapa hari ini, ia berusaha menampik fakta jikalau tubuhnya merasa berbeda. Arkan akui nafsu makannya menurun, pola makan dan tidurnya berantakan, nyaris mengorbankan hal tersebut dengan kejaran target merampungkan rancangan percobaan model robotnya. terlampau memforsir diri. Nyatanya Arkan terbiasa melakukan segala sesuatu dengan totalitas demi memeroleh pengakuan. Sekali pun kerap kali dirinya sendiri yang dikorbankan.

"Hei, bro!" Seseorang masuk dari pintu kaca laboratorium. Menginterupsi lamunan Arkan lalu hadirkan picingan mata darinya sebelum berubah menjadi tatapan melunak nan akrab, "Gila sih, udah kayak zombie aja lo,"

Seseorang itu mengambil posisi di kursi tinggi di sisinya. Mengomentari dengan jurus gurauan keringnya sesaat melihat meja panjang di depan Arkan penuh berisikan alat, benda, dan papan berisikan catatan proyeknya. "Butuh minum?" lanjutnya, memamerkan sebotol minuman soda dingin tepat di depan wajah Arkan.

Yang kemudian disambut Arkan disusul ujaran terima kasih. Mereka kompak meminum milik masing-masing sembari biarkan hening merajai sesaat ciptakan spasi.

"Gimana proyek lo? Lancar?"

"Hm."

"Dua minggu lagi berarti lo ke Jakarta, ya, seminggu di sana buat perlombaan?"

"Hm."

"Lo oke?"

"Hm."

Teman Arkan itu tampak menaikkan alisnya. Melihat tanggapan enggan dari Arkan manakala cowok itu asyik meneguk minumannya sembari pandangan berkelana jauh pada jendela di hadapan mereka.

"Lo kurusan, Ar. Perhatikan pola makan lo, serius. Lo punya asam lambung."

Sebab teguran itu, sontak Arkan barulah menoleh. Temukan entitas nyata sahabat karibnya di sampingnya. Memandangnya penuh prihatin. Emosi sewajarnya manusia memiliki itu. Tetapi tidak mudah untuk Arkan merasakan dan menunjukkan emosi tersebut.

Sejenak LukaWhere stories live. Discover now