2. Perkara Cela

514 47 12
                                    

Arkan, Nara, dan Jean. Ketiganya adalah saudara kandung. Ditakdirkan lahir di keluarga kaya berisi orang-orang berpengaruh, baik dari sektor swasta dan negeri. Nama Deondra yang disandang membuat prestise tersendiri. Kaya, terpandang, dan fisik luar bisa menawan. Hanya mendengar namanya, eksistensinya seakan haturkan puja. Tidak ada cela, seperti ayah mereka yang menjadi orang nomor satu di BUMN sekaligus pemilik perusahaan properti bercabang di seluruh pelosok pertiwi.

Putra-putra Deondra itu sangat berbakat dalam banyak hal. Sejak kecil, potensi dan keunggulan sudah merajai. Pun semasa sekolah dasar tak henti mendulang peringkat pertama dan berbagai prestasi. Tidak hanya rupa memesona, tetapi otak juga mengimbangi. Pantas saja jika setiap acara keluarga ataupun kolega, Arkan dan Jean selalu dibangga-banggakan oleh semua orang, tanpa terkecuali.

Ya. Hanya untuk Arkan dan Jean. Luput Nara dari keberuntungan itu.

Sebab sejak kecil Nara sudah berbeda. Ia tidak begitu cerdas seperti Jean dan Arkan. Nilai-nilainya sejak sekolah dasar hanya bertahan di angka 88 sebagai pencapaian tertinggi. Pun ia pernah memeroleh nilai 50 pada pelajaran Bahasa Jerman sewaktu SMP dan hadiah dari sang ayah adalah cambukan ikat pinggang sebanyak 100 kali di punggungnya.

Tidak ada yang bisa dilihat dari Nara. Pun dirinya termasuk anak yang lemah dan rentan terkena sakit sejak kecil. Nara tidak memiliki postur tubuh dan perawakan yang tegap mencerminkan sosok seorang pemimpin seperti Arkan dan Jean. Tubuh Nara kurus. Mungkin hanya rupa menawan yang bisa disamakan dari dirinya jika disandingkan dengan Arkan dan Jean. Namun, Nara tetap merasa kecil manakala mengingat kritikan orang yang menyebut bahwa Arkan dan Jean jauh lebih tampan dan tidak pantas dibandingkan dengannya.

Jika di sekolah Arkan dan Jean menjadi idola seluruh murid dan guru, maka Nara hanya bisa bertahan sebagai murid biasa yang tidak populer dan menjadi korban rundung akibat sikap terlalu pasifnya. Nara juga sering direndahkan saat dirinya mendapat nilai pas-pasan KKM oleh guru kelasnya.

Jika Arkan mahir di kemampuan robotik dan kerap mengharumkan nama sekolah sebab prestasi robotiknya sampai tingkat internasional, maka Nara hanya bisa terus-terusan berusaha untuk belajar mempertahankan nilainya yang tidak pernah sempurna.

Jika Jean selalu dikagumi eksistensinya di sekolah karena prestasinya sebagai langganan juara 1 perlombaan olimpiade fisika tingkat nasional, maka Nara harus mati-matian mengasah otak bodohnya agar tidak remedial ulangan fisika di sekolahnya. Oh, Jean juga berprestasi di bidang non-akademik. Jabatan ketua klub basket serta kegemaran boxing-nya berhasil membentuk otot-otot sempurna di tubuh Jean sampai sekarang. Badan Nara langsung terhempas hanya dengan sekali dorongan kecil Jean.

Nara tidak pernah iri dengan kedua saudaranya. Hanya saja—ia mulai mempertanyakan eksistensi dirinya sendiri. Menyalahkan diri dalam hati. berharap Tuhan segera memberikannya solusi.

Mungkin itu yang menjadikan Deondra mengasingkan Nara. Tidak, tetapi semuanya. Keluarga, lingkup sekolah, pun kolega-kolega Deondra. Tatapan rendah mereka dipatri kuat dalam ingatan Nara. Nara anak yang tidak berguna, tidak memiliki satu pun keunggulan yang bisa menjual dirinya di hadapan banyak orang. Deondra malu mempunyai Nara sebagai anaknya. Nara adalah hasil yang cacat. Dengan demikian, sewajarnya bagi Nara untuk sabar dan terima segala perlakuan buruk kepadanya, bukan?

Begitulah kira-kira doktrin yang kuat Nara tanam pada dirinya. Sampai detik ini. Tepatnya kala ia merasakan pukulan di bagian belakang kepalanya setelah badannya dihempas jatuh hingga tersungkur di lantai gudang belakang sekolah yang berdebu.

"Woah—liat siapa yang datang ini?" Cowok berambut sedikit ikal bangkit dari posisi duduk di atas meja-meja yang tersusun berantakan di sudut ruangan. Berjalan mendekati subjek atensi bersama tak luput kedua teman lainnya di sana sembari menjepit rokok di sela jemari.

Sejenak LukaWhere stories live. Discover now