Ҡìʂâɦ 9

599 119 26
                                    

Hiruk pikuk pasar terasa amat ramai. Apa ini sedang hari pasaran? Harap diketahui bahwa ada beberapa pasar yang hanya buka di hari-hari tertentu. Misalnya Pasar Legi maka pasar ini hanya buka di hari Legi--siklus 5 hari--pada kalender Jawa.

Ada pula pasar yang buka setiap hari tapi akan bertambah jumlah penjual dan pembelinya bila bertepatan dengan hari pasaran. Contohnya, tentu pasar ini karena letaknya tidak begitu jauh dengan keraton. Bisa saja saat ini sedang hari pasaran. Rabu Pon. Mungkin Pasar Pon. Ah, terselahlah, bukan urusan Sedayu juga.

Menuntun kuda miliknya sambil menurunkan sedikit caping yang dipakainya di kepala agar wajah Sedayu agak tersamar. Tidak mungkin dirinya menunggangi si kuda padahal keadaan tengah ramai begini. Sedayu juga tidak tergoda melihat-lihat barang dagangan.

Tujuan Sedayu memang bukan untuk membeli barang tapi mengisi perut. Ada beberapa kedai yang menjual makanan di sini. Berhubung pergi di pagi buta jadi Sedayu belum sarapan. Perjalanan nanti lumayan jauh jadi lebih baik makan dulu. Lagipula kini, Sedayu punya banyak uang untuk membeli makanan apapun yang dia inginkan.

Sedayu mengikat tali kudanya di palang bambu yang terletak di pinggir kedai bersebelahan dengan kuda lainnya. Berhubung berada di pusat pemerintahan jadi banyak pengelana. Entah mereka ada urusan dengan pejabat keraton atau hanya sekedar berkunjung.

Setelahnya, Sedayu memasuki kedai. Dirinya menuju ke bagian pojok kiri yang lebih sepi. Melepaskan caping lalu menaruhnya di meja. Akan terlihat mencurigakan jika Sedayu makan sambil memakai caping. Jangan sampai dirinya terlihat mencolok.

Memang kedai ini tidak penuh macam kedai di sebrang sana karena sepertinya tempat ini lebih mahal. Dari bentuk bangunan depan saja terlihat perbedaannya. Di bagian dalam juga telah menggunakan meja dan kursi berukir. Kebersihan? Tentu terjamin.

Bukan mau terlihat sok kaya sehingga memilih kedai ini dibandingkan kedai sebrang, tapi Sedayu tidak mungkin bisa makan dengan tenang sedang di sekelingnya penuh laki-laki. Sekedar membayangkan saja, badan Sedayu begidik ngeri. Belum lagi tampak beberapa di antara mereka mabuk. Berhubung kedai di sana terbuka--dinding kayu pembatas hanya dibuat setengah bagian saja--jadi kegiatan para pembelinya terlihat.

Ck, pagi-pagi sudah mabuk.

Walau banyak penduduk yang telah memeluk agama Islam tapi tak sedikit orang yang masih kerap meminum tuak. Beralasan sebagai tradisi turun-temurun. Namun, di keraton tidak diperkenankan lagi untuk meminum minuman haram tersebut.

“Makan atau minum saja?” tanya seorang wanita agak gemuk yang menghampiri meja Sedayu. Tak lupa dia mengerling genit sambil membusungkan dadanya.

Sedayu menahan diri agar tidak menampakkan raut wajah jijik pada perempuan di sampingnya itu. Mungkin jika dirinya laki-laki maka akan senang apabila disuguhi belahan dada rendah begitu. Pelayan kedai memang sedang memakai kemben tanpa kebaya. Masalahnya, Sedayu perempuan jadi malah risih saat melihat payudara bagian atas pelayan itu mencuat serasa ingin keluar dari kemben. Sangking sempit kembennya, Eh.

“Makan,” jawab Sedayu datar dengan suara dibuat dalam seperti suara laki-laki.

Pelayan itu agak membungkuk dan tak ayal membuat Sedayu segera memundurkan badannya hingga bersandar di kursi. “Mau tuak juga, Raden?” tanyanya mencoba sopan. Tidak mungkin dirinya memanggil Mas apalagi Kisanak karena pengunjung satu ini memiliki aura... aura bukan orang miskin.

“Tidak,” pungkas Sedayu. Seperti kebiasaan Sedayu saat sedang menyamar yaitu tidak terlalu banyak bicara agar penyamarannya tak terbongkar.

“Padahal kami punya tuak terbaik, Raden.” Iming-iming pelayan wanita itu walau dengan suara pelan.

Bukan Calon ArangWhere stories live. Discover now