Ҡìʂâɦ 11

547 123 30
                                    

Duk.

Duk.

Duk.

Duuuuk.

Merasa tendangannya kurang kuat maka dirinya memutuskan menendang lebih keras kaki pemuda yang sepertinya pingsan di dekatnya. Niat hati menunggu pemuda itu siuman dengan sendirinya tapi hingga sinar matahari meredup hal itu tidak juga terjadi. Walau yakin si pemuda memang pingsan bukan mati.

Badan Sedayu tersentak karena tendangan. Matanya perlahan terbuka. Serta-merta rasa sakit menyengat terasa di kepalanya. Bukan... bukan kepala saja tetapi sekujur tubuhnya sakit semua.

Sadar posisi badannya sedang terbaring miring di tanah. Sepertinya, Sedayu berada di bilik kecil berdinding gedeg. Mirip gudang karena banyak peti-peti kayu berdebu. Tempat ini agak gelap sebab satu-satunya penerangan hanya dari sinar matahari yang menyusup ke sekat anyaman gedeg. Itupun agak temaran, mungkin hari sudah beranjak sore.

Duuuuk.

Tendangan sekali lagi dirasakan Sedayu mengenai kakinya. Mau tak mau dirinya terlentang sebab pelaku penganiayaan pasti sedang berada di belakangnya. Ingin bangkit namun tak mungkin dilakukan Sedayu saat tangan dan kaki terikat begini.

Walau kepalanya terasa berat sekaligus sakit, Sedayu tidak hilang ingatan sehingga tak ingat bahwa dirinya telah diculik setelah diserang di hutan. Walau agak berbayang tapi Sedayu bisa melihat bahwa si penjahat ternyata menculik orang lain selain dirinya. Pemuda itu pasti korban juga karena tubuhnya terikat seperti Sedayu.

Si pemuda menggesekkan kain penutup mulutnya hingga tak lama merosot turun ke leher. "Cuiiih." Dia meludah "Apa tidak ada kain lain, selain kain bau ini?" Raut wajahnya seakan ingin muntah.

"____" Sedayu diam tak bersuara karena ada dua alasan.

Pertama, mulutnya juga diikat dengan kain seperti pemuda itu--kain yang dipakai penjahat memang berbau apek--sehingga tidak bisa bersuara.

Kedua, Sedayu agak terpaku saat melihat pemuda itu. Bukan... Bukan terpaku pada ketampanan wajahnya karena pemuda ini tidak tampan, tapi tidak jelek juga. Biasa-biasa sajalah.

Pandangan Sedayu justru tertuju pada aura yang memancar dari dirinya. Dominan kuning. Aura kuning artinya orang ini ceria dan pandai bergaul sebab bisa membuat orang di sekitarnya merasa bahagia.

Namun di antara warna kuning tersebut ada aura berwarna merah cukup jelas. Benar-benar merah, bukan aura merah gelap yang biasa dimiliki orang-orang yang sedang dalam kondisi marah atau mendendam. Aura merah artinya berjiwa kepemimpinan kuat. Tidak banyak orang yang memiliki aura ini.

Selama ini Sedayu hanya melihat Panembahan Senopati yang adalah raja dan Pangeran Rangga Samudra yang memiliki warna aura ini. Lah, Sedayu kan memang disembunyikan jadi belum pernah bertemu raja dan pangeran mahkota kerajaan lain. Dari usia maka mustahil pemuda di hadapannya adalah seorang raja. Kemungkinan dirinya pangeran mahkota alias calon raja.

Hmm... tapi dari kerajaan mana?

"Huuus... kau baik-baik saja?" tanya pemuda entah siapa. "Waduh, sepertinya kepalamu dipukul terlalu keras oleh mereka." Agak mengernyit saat ingat darah kering di bagian belakang kepala kawan sependeritaannya ini.

Angel wes angel.

Ternyata tak bisa mengharapkan kerjasama dari pemuda yang pingsan--apabila ditelisik raut wajahnya yang malah bengong bisa dipastikan dia pendek akal--di hadapannya itu. Maka tidak ada pilihan lain selain berusaha sendiri untuk membebaskan diri. Sesuai ungkapan bahwa jangan terlalu berharap pada manusia.

Memejamkan mata sejenak guna memusatkan tenaga dalam ke area pergelangan tangan. Dalam satu hentakan merenggangkan kedua tangan agar tali pengikat lepas. Sayang, dirinya bukan Bima yang katanya sekuat raksasa jadi tali tidak putus walau memang agak merenggang.

Bukan Calon ArangWhere stories live. Discover now