Ҡìʂâɦ 6

570 111 23
                                    

Dhanwa meletakkan kayu bakar yang didapatnya dari hutan hari ini di bagian belakang rumah. Besok baru akan diantarkan ke rumah Pak Marto. Lumayan untuk tambahan uang.

Merenggangkan otot badannya yang terasa pegal. Usia tak berbohong. Dhanwa merasa makin hari kekuatannya semakin menurun. Namun, berleha-leha juga tidak mungkin dilakukannya karena ada perut lain yang harus diberi makan. Apalagi bisa dibilang dirinya telat menikah jadi kini sudah tua dan beruban padahal Sedayu masih kecil.

Melangkah menuju pintu belakang sehingga langsung bisa masuk ke dapur sederhana miliknya. Khusus hari ini tak perlu memasak karena ada hajatan jadi bisa dipastikan mereka--Dhanwa dan Sedayu--makan di sana. Merasa agak haus maka Dhanwa memutuskan untuk menuang kilang--minuman manis yang terbuat dari tebu--dalam gelas. Dirinya butuh yang manis-manis.

Membawa gelas berisi kilang ke ruang tengah. Sepi. Tak ada yang menyambut kedatangan Dhanwa seperti biasanya. Kemungkinan Sedayu masih berada di tempat hajatan dan belum kembali. Dhanwa akan menyusul Sedayu tapi nanti. Dirinya butuh membersihkan tubuhnya sebelum ke sana tapi rasanya ingin bersantai sejenak sambil menikmati minumanya ini.

Duduk sambil mengangkat satu kaki di kursi. Tangannya mengambil pisang yang memang selalu ada di meja. Memakan buah itu sebagai pengganjal perut lalu menyeruput kilang. Sejak menikah, Dhanwa tidak pernah lagi meminum tuak. Istrinya tak suka pria pemabuk.

Ketenangan Dhanwa tiba-tiba terusik kala terdengar derap kaki kuda mendekat. Bukan satu tapi sepertinya banyak. Belum lagi ringkikan kuda saat hewan itu dipaksa berhenti.

Apa itu tamu? Tamu tak dikenal sekaligus tak diundang pastinya. Jantung Dhanwa berdetak kencang karena sadar bahwa orang-orang itu kemungkinan besar berniat buruk. Selama hidup, Dhanwa tidak pernah punya teman apalagi kerabat. Belum lagi dirinya dan mendiang istrinya adalah pelarian.

Mereka juga pasti bukan penduduk dusun. Hanya kepala dusun yang punya kuda. Dhanwa juga bisa dibilang merupakan penduduk yang keberadaannya tidak terlalu penting jadi tetanggapun jarang berkunjung.

Dhanwa beringsut ke ruang depan. Mengintip di sela gedeg--dinding dari anyaman bambu--yang memang agak renggang. Seperti dugaannya, orang-orang yang datang tidak bermaksud baik. Mana ada orang baik yang mengeluarkan senjata bahkan sebelum berucap kulonuwun di depan rumah orang lain.

"Sepi." Salah satu orang bertubuh gempal berkata pada seseorang yang sepertinya pemimpin mereka.

Si terduga pemimpim menggerakkan jari pada anak buahnya. Isyarat yang membuat beberapa orang bergerak ke samping rumah. Sepertinya, mereka bersiap mengepung rumah.

Anggap sebuah keberuntungan karena tadi Dhanwa masuk lewat pintu belakang sehingga bagian depan rumah tertutup rapat. Pintu terkunci bahkan jendela juga tertutup semua. Dirinya juga belum menyalakan penerangan apapun. Sayangnya, tidak ada tempat aman untuk dijadikan persembunyian di dalam rumah ini. Jadi tinggal tunggu waktu saja hingga mereka menemukannya.

8 lawan 1. Dhanwa sadar dirinya kalah jumlah. Agak bersyukur sebenarnya karena Sedayu tidak berada di rumah jadi anaknya tidak terancam bahaya seperti dirinya. Sesaat Dhanwa tercenung ketika wajah Sedayu muncul dalam pikirannya.

Rumah kita tidak mungkin dirampok kan Bopo?

Entah kenapa Dhanwa mengingat pertanyaan Sedayu tadi malam. Rupanya Sedayu sudah memimpikan kejadian saat ini. Sialnya, Dhanwa meremehkan ramalan Sedayu. Mengira semua hanya bunga tidur atau bahkan lelucon.

Dhanwa memang tidak tahu secara terperinci apa yang terjadi sesuai mimpi itu tapi dari raut wajah Sedayu yang ketakutan bisa dipastikan bahwa semua akan berakhir buruk. Apa dirinya akan mati hari ini? Tapi bagaimana dengan Sedayu?

Bukan Calon ArangDove le storie prendono vita. Scoprilo ora