Ҡìʂâɦ 3

833 145 5
                                    

Tak lama muncul seorang pria. Dari pakaiannya terlihat jelas bahwa orang itu adalah seorang resi. Zaman dahulu, pakaian adalah ciri khas paling mudah untuk membedakan status atau pekerjaan seseorang. Abaikan orang yang sedang menyamar, tentu mereka menyesuaikan dengan tujuannya.

Dhanwa memang bukan pribadi yang taat beribadah tapi bersikap kurang ajar pada resi tetap saja segan. Dhanwa tak ingin jati dirinya terbongkar maka berpura-pura sebagai pengelana. Merekapun akhirnya sedikit mengobrol. Dhanwa juga tentu membagi makanannya pada Resi Brastawa. Begitulah sang resi memperkenalkan dirinya.

Namun, anehnya Dhanwa merasa tidak nyaman walau raut wajah Resi Brastawa jauh dari kata seram. Mungkin karena bekerja sebagai telik sandi membuat Dhanwa selalu waspada. Berusaha menghalau prasangka buruk yang muncul di pikiran, Dhanwa mencoba tetap bersikap sopan.

"Hidupmu tidak akan pernah tenang. Berbohong dan bersembunyi. Terus menerus begitu."

DEG... Gerakan tangan Dhanwa yang sedang menambah kayu bakar pada api sebagai penerangan di gelapnya malam terhenti seketika kala mendengar perkataan sang resi. Sial, kecurigaan Dhanwa terbukti. Resi Brastawa bukan resi biasa.

"Apa maksud Resi?" tanya Dhanwa pura-pura tidak paham sindiran sang resi.

Seolah tak mempedulikan pertanyaan Dhanwa, Resi Brastawa malah berkata, "Kau akan memiliki dua perempuan penting dalam hidupmu. Perempuan pertama akan menyelamatkan nyawamu sedang perempuan kedua akan menjadi penyebab kematianmu."

"___" Dhanwa bungkam. Lidahnya kelu walau jantungnya berdetak di luar kendali.

"Di malam bulan purnama. Perempuan kedua datang pertanda perempuan pertama pergi." Resi Brastawa berkata sambil menatap tajam Dhanwa.

"Apa Resi sedang meramal masa depan saya?" tanya Dhanwa mencoba berani. Berdecak sebelum melanjutkan perkataannya, "Ckckck, jangankan perempuan kedua, jikapun saya harus mati karena perempuan pertama, tak masalah buat saya. Harap Resi tahu bahwa saya itu sebatang kara. Tidak punya keluarga, tidak punya tempat tinggal dan tidak punya uang. Hidup atau mati diri saya, tidak akan banyak artinya bagi dunia ini. Jikapun mati, tidak ada pula yang akan menangisi saya."

"___" Resi Brastawa terdiam. Entah beliau merasa kasihan atau malah menilai kesungguhan Dhanwa.

Dhanwa menyeringai. "Kebetulan saya juga sudah bosan hidup, Resi!" ucapnya sungguh-sungguh dari hati terdalam.

Sungguh, Dhanwa benar-benar tidak tahu siapa orang tuanya. Dia tumbuh besar di padepokan bersama puluhan anak lainnya yang sama-sama tidak tahu asal-usul keluarganya. Beruntung diberi makan serta diajari beberapa keterampilan termasuk ilmu kanuragan walau dasarnya saja.

Namun, tidak ada yang gratis di dunia ini kecuali pemberian Dewata seperti udara, air, nyawa dan sejenisnya. Jika pemberian manusia artinya ada balas jasa yang harus dibayar sebagai penggantinya. Mereka semua terikat dengan padepokan jadi wajib melaksanakan tugas sesuai perintah. Ibaratnya, hidup Dhanwa sejak dulu bukan miliknya.

Bukan pula Dhanwa putus asa tapi kadang terpikir mengapa harus bekerja keras mempertahankan hidup di dunia jika pada akhirnya semua manusia pasti mati? Hingga kini tak ada hal penting yang membuat Dhanwa ingin bertahan hidup. Walau begitu, tidak ingin juga Dhanwa bunuh diri. Tindakkan itu rasanya terlalu pengecut. Jadi menurut Dhanwa cepat mati itu lebih baik asalkan bukan bunuh diri.

"Bunuh dia!" Resi Brastawa berkata dingin. "Bunuh perempuan itu!"

Serta merta alis Dhanwa naik satu mendengar perintah dari Resi Brastawa. Sangking terkejutnya bahkan mulut Dhanwa agak menganga. Resi gila! Batin Dhanwa.

Jika yang memerintahkan untuk membunuh adalah perampok, penjahat atau malah raja itu masih masuk akal. Setahu Dhanwa, resi seharusnya adalah orang yang paling berbelas kasih di dunia ini. Sungguh, Dhanwa heran akan pola pikir Resi Brastawa.

Bukan Calon ArangWhere stories live. Discover now