Ҡìʂâɦ 29

530 108 24
                                    

Sedayu mengunyah makanannya dengan pandangan kosong. Makanan yang disediakan di keraton itu selalu enak tapi kali ini Sedayu tidak menikmatinya sama sekali. Siapa juga yang masih bisa napsu makan jika hati sedang kacau balau begini?

"Makan dengan benar!" suara teguran dari Nyai Pradni seketika membuat Sedayu mendongak menatap gurunya itu.

"Hmm." Sedayu berdeham kemudian malah menghentikan kegiatan makannya. Memilih beralih meneguk air di gelas saja.

"Kau juga ingin ikut mati dengan cara mogok makan, begini?" sindir Nyai Pradni.

"Uhuuuuk... Uhuuuk..." Sedayu terbatuk saat air yang seharusnya masuk kerongkongan malah salah arah menuju tenggorokannya.

"Ckckck." Nyai Pradni berdecak kala melihat mangkuk sayur di depannya terkena muncratan air dari mulut Sedayu. Sedikit memang tapi tentu membuatnya membatalkan niat untuk menambahkan sayur ke piringnya lagi.

"___" Sedayu tak menjawab dan malah sibuk menyeka mulut yang basah. Matanya mengerjab sebab tidak menyangka gurunya mengetahui rahasia yang coba disimpan rapat-rapat oleh Sedayu. Entah Sedayu yang terlalu bodoh dan naif atau Nyai Pradni yang kelewat cerdas.

Kemalangan masih menaungi Kesultanan Mataram. Seakan belum cukup dengan masalah Gusti Kanjeng Putri Pembayun yang pelik dan tentu belum akan beres dalam waktu dekat walau sebulan telah berlalu sejak kematian tragis Ki Ageng Mangir Wanabaya. Kini masalah bertambah dengan kedatangan kembali Pangeran Rangga Samudra ke keraton Mataram.

Keraton adalah rumah bagi Pangeran Rangga Samudra jadi wajar jika laki-laki itu pulang. Masalahnya, setelah belajar pada Ki Juru Martani alias kakek buyutnya itu, sang Pangeran bukan bertambah sakti, akan tetapi justu sebaliknya. Pangeran Rangga Samudra datang dalam keadaan terluka... ralat, terluka parah menuju sekarat tepatnya.

Berita yang tentu menggegerkan keraton. Tidak sedikit yang mengaitkan kejadian ini dengan karma buruk atas tindakan Panembahan Senopati pada menantunya sebulan lalu. Orang-orang masih percaya adanya karma. Setiap perbuatan manusia itu pasti akan mendapat balasan. Perbuatan baik mendatangkan kebaikan sedangkan perbuatan buruk mendatangkan keburukan pula.

Mata dibayar mata.

Gigi dibayar gigi.

Nyawa dibayar nyawa.

Pangeran Rangga Samudra memang berguru kepada Ki Juru Martani. Namun, beliau tidak ada kaitannya sama sekali dengan terlukanya sang cicit. Bahkan baru tahu ketika dikirimi surat resmi dari Mataram. Alhasil, beliau kembali ke Keraton Mataram padahal sedang menyepi di masa tuanya. Patih baru Mataram telah ditetapkan sebagai pengganti Ki Juru Martani jadi beliau sebenarnya tidak ingin lagi mengurusi masalah duniawi.

Kisah nahas Pangeran Rangga Samudra berawal setelah dirinya selesai berguru pada Ki Juru Martani. Saat akan kembali ke keraton Mataram, katanya sang Pangeran mendengar kabar ada ular besar yang mengganggu warga di Desa Patalan, dekat Parangtritis. Sangking besarnya si ular malah dikira ular naga. Korban ular itu juga cukup banyak.

Mendengar kabar tersebut tentu membuat Pangeran Rangga Samudra merasa tertantang. Sebagai calon Sultan Mataram, Pangeran Rangga Samudra merasa bahwa dirinya turut bertangung jawab dan harus melindungi rakyat. Selain itu, sang Pangeran ingin mempraktekkan ilmu baru yang telah diajarkan oleh Ki Juru Martani padanya.

Bukan Calon ArangOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz