Ҡìʂâɦ 26

594 112 65
                                    

Jemari Pembayun bergerak menyelusup ke sela jari sang suami sebelum bertanya pelan, "Apa Kangmas mau kita kembali ke Mangir saja?" Pandangannya menyendu sebab sadar, sedari tadi Ki Ageng Mangir Wanabaya melamun.

Ada rasa bersalah yang menggelayuti jiwa.

Seorang anak harus berbakti pada orang tua. Walaupun perempuan tapi Pembayun tetap ingin menjadi anak sholehah sebagai jalan surganya. Namun, bukankah surga perempuan yang telah menikah itu beralih kepada suaminya? Tak disangka tiba hari di mana dirinya dilema dan tak tahu pasti harus memilih yang mana. Orang tua atau suami yang mesti didahulukan.

Ki Ageng Mangir Wanabaya tersentak pelan karena tadi dirinya terlalu asik melamun. Sungguh, rasanya kepalanya penuh dengan berbagai pikiran. Belum lagi, tombak Baru Klinting sejak dua hari lalu bergetar. Tahu bahwa hal itu bukan pertanda bagus.

Percaya tidak percaya, tapi benda pusaka bertuah memiliki keistimewaan dibandingkan senjata biasa. Memang sulit dijabarkan dengan kata akan tetapi benda tersebut seolah punya jiwa. Kedekatan spiritual antara Ki Ageng Mangir Wanabaya dengan tombak Baru Klinting mungkin tidak akan dipahami oleh orang lain.

Wajah Ki Ageng Mangir Wanabaya menengok ke samping. Cantik. Satu kata itu yang selalu muncul di benaknya saat memandang perempuan ini. Hal tersebut juga yang membuat dirinya jatuh hati dua tahun lalu hingga nekat menikahi ledek--penari tradisional yang diiringi gending-gending Jawa dari rombongan grup kesenian tayub keliling--tanpa peduli strata mereka itu terlalu berbeda jauh.

Bukan sombong tapi Ki Ageng Mangir Wanabaya masih keturunan jauh dari Raja Majapahit. Jadi sebenarnya dirinya berdarah biru dan bukan rakyat jelata biasa. Namun, dibanding memilih perempuan dari kalangan bangsawan atau anak keluarga priayi, Ki Ageng Mangir Wanabaya malah menikah dengan penari keliling yang entah keturunan leluhur mana.

Siapa sangka perempuan yang dikira adalah kalangan rakyat jelata ternyata seorang putri raja. Bukan raja sembarang raja malah. Istrinya adalah putri pertama dari Panembahan Senopati, pemimpin Kesultanan Mataram. Perempuan dengan nama asli Gusti Kanjeng Putri Pembayun bukan Lara Kasihan, seperti yang dahulu sang istri memperkenalkan diri untuk pertama kali pada Ki Ageng Mangir Wanabaya.

Tentu Ki Ageng Mangir Wanabaya tertipu. Dua tahun dirinya ditipu mentah-mentah oleh seorang perempuan. Kecewa serta marah sudah pasti tapi bagai pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Seharusnya, Ki Ageng Mangir Wanabaya mengusir bahkan jika perlu membunuh perempuan yang sudah menipunya ini. Apalagi, perempuan itu ternyata putri dari musuh bebuyutan yang mengincar wilayahnya.

Namun sial, rasa cintanya ternyata lebih besar dibandingkan rasa marahnya. Hati Ki Ageng Mangir Wanabaya bukan terbuat dari batu jadi bagaimana bisa dirinya mencelakai istri sekaligus ibu dari calon anaknya. Iya, Pembayun sekarang tengah hamil besar. Calon anak Ki Ageng Mangir Wanabaya yang ditunggu-tunggu akan lahir dalam waktu dekat.

Setetes air mata Pembayun jatuh meluncur di pipi mulusnya. "Maafkan aku Kangmas... hiks... hiks," isak tangisnya akhirnya keluar menggantikan rangkaian kata yang seharusnya terucap dari bibirnya.

Sungguh, jika bisa, Pembayun berharap bisa kembali memutar ulang waktu. Keinginan untuk dapat diakui serta tidak lagi dipandang sebelah mata oleh sang ayah membuat dirinya mengambil keputusan gegabah. Iya, gegabah sebab ternyata hatinya terlalu lemah. Ibaratnya, bukan hanya menggiring buruan untuk masuk perangkap lalu pulang, tetapi Pembayun justru ikut masuk bersama sang buruan ke dalam perangkap.

Bukan Calon ArangWhere stories live. Discover now