Getar dari ponselnya yang berada di dalam tas membuat Gaby mengambil ponselnya dan melihat siapa yang meneleponnya.

Satu nama yang seketika membuat tangis Gaby kian pecah.

Rumah sakit.

Gaby tau, ini bukan hal yang baik. Gaby tau bahwa ini bukan hal yang ingin Gaby dengar.

Gaby melempar ponselnya ke dashboard mobil, menutup kedua telinganya, melipat kakinya ke atas kursi seraya berteriak.

"Ibu akan baik baik saja! Ibu akan baik baik saja!" Pekiknya seperti orang gila.

Pak Seno melajukan mobilnya semakin kencang, berharap mereka segera sampai di rumah sakit. Pria paruh baya itu tidak tau apa yang menyebabkan Gaby berteriak seperti ini, tapi dia tau, bahwa itu bukan hal baik.

***

Sesampainya di rumah sakit, Gaby langsung keluar dari dalam mobil. Ia berlari kencang, sekencang mungkin menuju kamar inap milik ibu.

Menunggu lift yang tak kunjung bergerak turun dan terbuka, Gaby pun memilih alternatif lain. Tangga darurat. Perempuan itu berlari menaiki tangga darurat menuju kamar ibu berada.

Sampai akhirnya ia berada di lantai dimana ibu dirawat. Perempuan itu berlari kencang menuju kamar ibu.

Sampai di depan, Gaby membuka pintu, menatap nanar pada kamar yang kosong. Menatap ranjang rumah sakit yang sudah rapi. Gaby seketika sadar, bahwa otomatis ibu berada di ICU. Ia pun dengan gesit berlari menuju ruang ICU.

Meskipun nafasnya engap, ia berlari bak orang kesetanan, beberapa kali tidak sengaja hampir tersandung kakinya sendiri karena berusaha menghindari orang orang yang berlalu lalang. Sampai akhirnya Gaby berdiri di depan ruang ICU.

Tak lama seorang dokter keluar. Dokter yang menangani ibu. Dokter yang memantau pekermbangan ibu. Dokter yang Gaby percaya untuk menangani dan menyelamatkan nyawa ibu.

Pria itu melepas masker yang dikenakan. Wajahnya tidak berseri seperti biasanya, disaat beliau beberapa kali berhasil menyelamatkan ibu dari kondisi kritisnya.

"Pasien atas nama —"

Gaby tidak mendengar, telinganya mendadak tuli. Air matanya luruh, tangannya mencengkram erat tali tasnya. Hingga kemudian telinganya tiba tiba berdengung, dan kalimat yang tidak pernah ingin dia dengar keluar dari mulut dokter, "—dinyatakan meninggal dunia."

Satu tepukan di pundak Gaby, dari dokter itu tak berhasil menguatkan Gaby. "Saya dan tim dokter yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin, namun nyawa pasien tidak dapat tertolong. Kami turut berduka cita." Ucap dokter, menyampaikan bela sungkawa.

"Do—dok, ibu cuman kritis biasa kan?" Gaby menatap dokter itu dengan berlinang air mata.

Dokter itu menarik nafas, ia tidak tega dengan anak perempuan ini. Anak yang pasiennya banggakan setiap dia memeriksa pasien. Anak yang selalu tersenyum ceria menyapanya setiap berkunjung ke rumah sakit.

"Maaf nak." Dokter itu menundukkan kepalanya,  tidak tahan menatap lebih lama wajah kesedihan yang begitu menyiksa itu.

Gaby hampir saja luruh ke atas lantai, kalau saja tidak ada kedua tangan yang menggapainya. Menopangnya, membuat tubuhnya tetap tegak berdiri.

Telinganya di tutup tubuhnya diputar, membuat ia menatap sebuah dada bidang. Tubuhnya di peluk dengan erat. Gaby bisa mendengar detak jantung yang cepat disertai nafas yang terengah disana.

"It's okay Gaby. Ada gue."

Gaby mengenal aroma ini. Perempuan itu mendongak. Menatap kosong Kiel yang nampak terengah-engah. Sepertinya pria itu berlari kencang untuk menemukannya.

Love Attack حيث تعيش القصص. اكتشف الآن