34. Benang yang Terlanjut Kusut

49 35 4
                                    

'Entah mengapa senyuman manismu terkadang terlihat sedih di mataku.'

Pagi hari itu cuaca tampak sangat cerah. Cahaya matahari tampak menerjang masuk ke dalam kamar Joon dari pantulan kaca jendela dan membuatnya terbangun. Ia melirik jam yang ada di samping nakas tempat tidurnya. Jarum jam analognya menunjukkan pukul 09.00. Hari ini ia harus pergi ke galeri, tapi tubuhnya terasa enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Setelah mendengar vonis dokter, dirinya tidak ingin melakukan aktivitas apapun. Rasanya percuma untuk menjalani hidup kalau tahu sebentar lagi kau akan meninggalkan semuanya.

Joon terserap dalam lamunannya selama beberapa menit. Pandangannya hanya menatap langit-langit kamar lalu beralih ke arah jendela. Cahayanya yang terlalu menyilaukan mata Joon membuatnya bangkit dari tempat tidur lalu berjalan ke arah jendela. Ia membuka gorden kamar sehingga dirinya bisa melihat ke arah luar jendela. Kamar Joon berada di lantai dua, begitu pula kamar kakaknya. Dari atas kamarnya, ia melihat halaman rumah. Joon melihat kakaknya berpakaian rapi berjalan menuju ke arah garasi yang letaknya terpisah dari rumah utama.

Sejak kepulangan kakaknya kembali ke rumahnya, ia menjadi sangat canggung. Padahal sewaktu kecil, dirinya selalu menempel dengan Yeol. Ke mana pun Yeol pergi, ia pasti akan mengikutinya. Tapi sekarang, dia merasa Yeol sudah menjadi orang yang asing baginya. Ingatannya kembali pada pembicaraan sekilas antara keduanya semalam. 

Sejak kecil dirinya tahu kalau sepertinya kakaknya itu menyukai Sun. Hanya saja ia tidak pernah mengira kalau rasa suka yang dimiliki kakaknya bisa bertahan hingga dewasa. Begitu pula dengan dirinya. Saat kecil ia memang menyukai Sun. Tapi setelah bertemu lagi di galeri waktu itu, dirinya sepertinya tidak bisa melupakan gadis yang telah menjadi cinta pertamanya.

Lamunan Joon terhenti karena dering ponsel miliknya yang ia letakkan di atas nakas. Dengan malas, ia mengambil ponsel tersebut lalu melihat nama Hyuk yang tertera di layar ponsel. Setelah menghela nafas panjang, tangannya menyikap tombol berwarna hijau pada layar.

"Hei Joon! Kau di mana?" terdengar suara Hyuk dari seberang.

"Di rumah," jawabnya malas-malasan.

"Kenapa kau masih di rumah? Kita ada rapat di galeri setengah jam lagi," suara Hyuk terdengar panik.

Sejak Joon kembali ke Korea, Hyuk dan dirinya bekerja di Daegu Arts Center. Awalnya Joon tidak ingin bekerja sama dengan Hyuk karena sepupunya itu terlalu berisik untuk bekerja di galeri seni. Tapi ayahnya ternyata telah membuat kesepakatan dengan ayah Hyuk sehingga Hyuk diharuskan untuk bekerja di sana selama satu tahun.

"Aku sedang tidak ingin bekerja. Kau saja yang rapat menggantikanku," bantah Joon.

"Yaa! Tidak bisa begitu! Klien kita orang Jepang. Aku kan tidak bisa bahasa Jepang. Aku tidak mau tahu, cepat datang ke sini segera sebelum mereka datang!"

Belum sempat Joon menjawab, Hyuk sudah menutup teleponnya.

Tepat setelah Hyuk menutup teleponnya, Joon melihat pesan singkat dari Sun.

"Kau mau makan malam bersama tidak?"

Dengan cepat jemari Joon membalas pesan Sun untuk menyetujuinya. Tanpa menunggu, dirinya langsung berjalan ke arah kamar mandi untuk mandi dan bersiap-siap.

***

Joon merasa tubuhnya lelah hari itu. Tulang-tulangnya seolah tidak bisa menopang tubuhnya sehingga beberapa kali ia tampak hilang keseimbangan. Padahal dirinya hanya menghadiri satu rapat saja dan itu hanya berlangsung satu jam lebih sedikit saja. Tapi setelahnya, ia harus bolak-balik dari galeri ke gudang penyimpanan untuk mengecek lukisan-lukisan yang baru saja datang dari Perancis untuk dipamerkan di pekan ini. 

A Thousand Tears in DaeguWhere stories live. Discover now