20. Dilema

26 5 0
                                    

Di senja yang redup, keempat sahabat itu berdiri dalam keheningan yang mencekam di tengah pepohonan yang anggun. Cahaya temaram dari mesin waktu yang telah membawa mereka ke masa lalu masih memantul dari permukaan besi yang kusam. Namun, kini mesin itu terlihat mati, tanpa denyutan dan pesona ajaibnya yang dulu begitu memukau. Pintu portal, yang sekian lama mereka harapkan akan membawa mereka kembali ke masa depan, kini hanya tinggal kenangan samar, dan mereka merasa kesalahan pada waktu telah menjerat mereka dalam perangkap misterius.

"Tapi bagaimana mungkin pintu portal itu lenyap begitu saja?" bisik Charlote, ekspresi keheranan menghiasi wajahnya yang pucat.

Chloe menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kita harus tetap tenang dan mencari solusi," ujarnya, "Mungkin ada cara lain untuk mengaktifkan mesin waktu atau menemukan pintu portal lainnya."

Di bawah langit senja yang memerah, keempat sahabat itu terdiam dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam. Mereka sebelumnya merasa begitu yakin bahwa mesin waktu dan pintu portal akan membawa mereka kembali ke masa depan, tetapi kini semuanya tampak sia-sia. Cahaya temaram dari mesin yang mati berangsur-angsur memudar, meninggalkan mereka dalam kegelapan dan ketidakpastian.

Chloe, dengan mata yang penuh kekhawatiran, memandang mesin waktu yang kini begitu tak berdaya. Dia meraih lingkaran tembaga di pergelangan tangannya, tetapi alih-alih getaran ajaib, dia hanya merasakan kehampaan yang menyedihkan. "Ini tidak mungkin," bisiknya dengan ketidakpercayaan, "Mesin waktu tidak boleh berhenti berfungsi begitu saja!"

Charlotte, yang selalu bijaksana dan penuh pemahaman, menggenggam bahu Chloe dengan lembut. "Apa pun penyebabnya, kita harus tetap tenang dan mencari tahu apa yang terjadi. Mungkin ada cara untuk memperbaikinya."

Ben, yang penuh semangat dan selalu siap untuk tantangan, mengangguk dengan tegas. "Kita tidak boleh menyerah! Mari kita lihat dengan seksama apa yang bisa kita lakukan."

Lily, yang selalu cenderung merenung dan introspektif, berdiri di antara mereka dengan pandangan bimbang. Dia merasa terjepit di antara dua dimensi waktu yang berlawanan. 

Ketika senja semakin dalam, keempat sahabat itu memutuskan untuk mengeksplorasi sekitar dan mencari petunjuk tentang apa yang terjadi dengan mesin waktu mereka. Mereka berjalan melalui hutan yang rimbun, mencari tahu apakah ada hal aneh atau penemuan yang dapat membantu mereka.

Pada saat itu, di tengah keheningan, mereka mendengar suara angin yang meniup pelan. Seolah-olah alam sendiri berbicara kepada mereka. Lily menatap angin itu, dan mendadak dia menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda.

"Kalian dengarkan," bisik Lily dengan penuh keterpesonaan, "ada suara aliran air di belakang pepohonan itu."

Keempat sahabat itu saling berpandangan dan langsung mengikuti suara itu. Di belakang pepohonan, mereka menemukan aliran sungai yang menawan yang sebelumnya tidak mereka sadari. Ketika mereka mendekat, mereka melihat sebuah batu berkilauan yang tergeletak di tepi sungai.

Chloe merasa ada yang aneh dengan batu itu dan mencoba menyentuhnya. Tiba-tiba, dari balik batu, muncul semburan cahaya ajaib yang memenuhi sekitar mereka. Mereka tersedot ke dalam pusaran cahaya yang memukau, dan di depan mata mereka, terbentang sebuah pintu portal baru yang bersinar terang.

"Kita menemukannya!" seru Charlote, tak percaya dengan apa yang terjadi.

"Batunya adalah kunci! Semua ini adalah bagian dari petualangan kita!" ujar Ben dengan antusias.

"Mungkin kita harus mencoba memperbaiki mesin waktu," ucap Charlote dengan suara lirih. "Siapa tahu, mungkin kita bisa menghidupkannya kembali dan mencari cara untuk membuka pintu portal."

The Portrait of Lily Morgan (Wattys 2023)Where stories live. Discover now