50. Surat dari Angkasa

1.1K 131 131
                                    

Bu Fany langsung mengusap air matanya begitu sang suami memasuki kamar. Beliau membuang muka, tetap berusaha menutupi wajah sedihnya walaupun tahu itu akan sia-sia. Semua orang yang menyayangi Angkasa tentu merasa sedih dengan keadaan saat ini, bukan? Tentu saja, yang paling terluka adalah orang tua Angkasa, terutama bundanya.

Rasanya, baru kemarin anaknya itu datang ke rumah ini sebagai anggota keluarga baru, setelah Bu Fany berjuang melahirkannya. Rasanya baru kemarin Angkasa belajar jalan dengan kaki mungilnya yang lucu. Rasanya baru kemarin anak itu berteriak kegirangan seraya membawa piala juara olahraga basket.

Kini, Angkasa telah pergi. Putra semata wayang Bu Fany dan Pak Lionel telah kembali ke pangkuan Tuhan. Yang tersisa darinya tinggal kenangan dan cerita-cerita indah. Juga kerinduan yang tak akan menemukan obatnya. Juga secarik kertas berisikan tulisan tangannya.

"Kamu harus baca ini, Mas," ucap Bu Fany seraya meletakkan kertas itu di atas kasur dengan posisi terbuka.

Tanpa pikir panjang, Pak Lionel pun segera mengambil benda tipis itu. "Apa ini?"

"Surat dari Angkasa."

Baru saja Pak Lionel hendak membaca isi kertas itu, perhatiannya teralihkan pada wajah sembab sang istri kembali. Dahinya tampak berkerut. "Surat?"

Wanita paruh baya itu mengangguk lesu. "Sepertinya Angkasa udah punya firasat tidak akan berumur panjang. Di hari-hari terakhirnya dia terus menulis. Ada tiga surat yang dia tinggalkan. Untuk aku, Rindu, dan satu lagi untuk temannya."

Pak Lionel kembali menunduk, menatap secarik kertas di hadapannya. Goresan tintanya tidak terlalu rapi, menandakan bahwa kondisi Angkasa tidak baik-baik saja saat menulis surat ini. Mungkinkah dia kesakitan setiap kali menciptakan satu huruf oleh tangannya? Anak itu pasti mengerahkan seluruh kemampuannya demi bisa menyampaikan isi hatinya sampai selesai.

Seperti yang diduga, isi surat itu adalah ucapan terima kasih karena telah dirawat penuh cinta selama ini. Angkasa juga meminta maaf atas segala kesalahan yang ia perbuat. Ia pun mengaku sangat bahagia bisa menjadi anak dari bundanya. Dari atas hingga bawah, Angkasa hanya menyebut sang bunda. Sekalinya menuliskan 'ayah', itu mampu membuat hati Pak Lionel tersayat.

Aku minta Bunda pisah sama Ayah. Tidak ada gunanya lagi bertahan jika Bunda gak merasa bahagia. Tidak ada gunanya lagi tinggal jika Bunda tidak dihargai dan malah dikhianati. Bunda berhak bahagia. Bunda harus menjalani hidup penuh kebahagiaan mulai sekarang. Walaupun tanpa kehadiran aku, Bunda harus tetap bahagia.

Surat itu kembali disimpan ke atas tempat tidur. Pak Lionel terduduk di kursi meja rias sembari mengusap wajahnya kasar. "Aku kira masalah ini udah selesai. Aku kira kamu memutuskan untuk kembali lagi sama aku."

Bu Fany langsung menggeleng. "Enggak, Mas. Keadaan saat ini, kepergian Angkasa, gak akan bisa menghapus pengkhianatan yang udah kamu lakukan."

"Aku udah bicara sama Reni, Bun. Dia setuju untuk tidak mengganggu kita lagi, asalkan diberi uang tutup mulut."

"Itu hanya persetujuan kamu dengan Reni, Mas, bukan dengan anak itu. Saat besar nanti, ketika dia bisa berpikir dewasa, pasti dia mempertanyakan kehadiran ayahnya. Dia pasti akan menuntut pertanggungjawaban kamu juga. Bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga kehadiran dan kasih sayang kamu."

"Reni bisa mencari pendamping hidup sekaligus ayah untuk anak itu."

"Kasih sayang ayah sambung tidak akan setulus ayah kandung, Mas," sahut Bu Fany dengan cepat, mematahkan argumen suaminya.

"Tapi, Fany-"

"Cukup Angkasa yang kamu kecewakan. Jangan anak itu juga."

Terdengar embusan napas panjang dari Pak Lionel.

Forever Only [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang