15. Teman

1.4K 179 100
                                    

Rindu berjalan mendekati sofa ruang tengah. Senyum tipis terbit di wajah cantiknya tatkala melihat sebuah kotak berukuran besar terpajang di atas meja. Rindu langsung turun begitu mendapatkan pesan dari Davka, memberi tahu bahwa paket untuknya tiba tadi siang. Itu adalah oleh-oleh dari Jepang yang dikirimkan sang mama.

Dengan pisau kecil yang dibawa dari kamar, Rindu membuka kotak itu. Pandangannya langsung tertuju pada amplop merah yang tersimpan paling atas. Itu pasti surat tulis tangan mamanya, seperti biasa. Ia pun segera mengambil amplop itu dan membukanya.

Halo, Sayangnya Mama!

Maaf, ya, mama belum bisa ke Bandung. Soalnya pekerjaan papa lagi banyak-banyaknya. Kamu tahu sendiri papa gak bisa ditinggal, nanti gak ada yang siapin bajunya. Begitu ada waktu, mama pasti jenguk kamu, kok. Gak bakalan bilang-bilang juga, biar jadi kejutan. Hehe ....

Ini oleh-oleh dari Jepang. Mama udah pisahin yang buat kamu, Tante Nia, Davka, sama Kiara. Cokelatnya juga mama lebihin, biar kamu puas makannya. Kimono yang biru buat kamu. Nanti jangan lupa foto terus kirim ke mama, ya. Harus! Mama gak mau tahu!

Jaga kesehatan, ya, Sayang. Mama kangen banget sama kamu. Salam cinta dari mama, papa, sama Kak Teguh!

Rindu geleng-geleng kepala. Mamanya itu memang cukup sering memaksa Rindu untuk mengenakan pakaian feminin. Ya, itu memang gaya pakaian yang disukainya dulu, sebelum Rindu mengalami masa kelam dan memutuskan untuk memakai baju yang lebih sederhana saja. Dibandingkan gaun, corak floral, dan warna cerah, sekarang Rindu lebih suka celana jins, kaus lengan panjang, dan warna yang netral.

Setelah melipat surat, Rindu pun bangkit dan meninggalkan ruang tamu. Ia melangkah sembari menatap satu per satu foto kebersamaan mama papanya selama di Jepang. Terlalu fokus pada setiap momen romantis orang tuanya sampai Rindu tidak sadar ada seseorang yang berdiri di jalannya. Saat sesuatu menyentuh keningnya, barulah Rindu berhenti.

"Kalau jalan, tuh, lihat ke depan."

"Lo ngapain di sini?"

"Nginep," singkat orang itu. Ia menarik kembali telunjuknya yang digunakan untuk menahan langkah Rindu, kemudian menyeruput cokelat panas yang baru didapatkan dari dapur.

"Tapi lo punya tempat tinggal sendiri, Kak Angkasa."

Lelaki itu mendelik dan segera menurunkan cangkir yang menghalangi wajahnya. "Gue diminta sama Tante Nia buat nemenin kalian di rumah. Lagian, sebelum ada lo, gue sama Tristan juga lumayan sering nginep di sini, kok. Cuma akhir-akhir ini dikurangin demi menghormati lo sebagai cewek."

Tapi kalau Kak Jayen muncul di hadapan aku secara tiba-tiba begini, aku bisa kena serangan jantung. Rindu membuang muka, menghindari tatapan Angkasa yang sedari tadi tertuju padanya. Tanpa sepatah kata pun, ia pun melanjutkan langkah menuju tangga.

"Eh, Rindu!"

Tepat di undakan ke tiga, langkah Rindu terhenti. Ia mematung di tempat, merekam reaksi tubuhnya yang begitu dahsyat. Panggilan Angkasa barusan berhasil membuat bulu kuduk Rindu meremang. Jantungnya berpacu lebih cepat. Isi kepala Rindu kosong, menguap entah ke mana.

"Tunggu bentar," ucap Angkasa lagi seraya menyusul gadis itu. Ia berdiri di hadapan Rindu dan menyerahkan secarik foto. "Nih, foto lo jatuh."

Di sisa kewarasannya, Rindu pun mengangkat kepala. Dia menatap Angkasa begitu dalam. "Lo ... tahu nama gue?"

"Tahu, lah. Kita cukup sering ketemu akhir-akhir ini. Gak sopan banget kalau gue gak tahu nama lo."

Sunyi, tidak ada yang berbicara lagi di antara mereka. Angkasa bingung dengan sorot mata Rindu yang kian dalam. Bahkan, ia juga mulai bisa melihat bulir bening menghiasi kedua netra gadis itu. Turun sedikit, Angkasa sadar Rindu sedang menggigit bibir bawahnya. Jika sudah begini, perasaanya mendadak tidak enak.

Forever Only [Tamat]Onde histórias criam vida. Descubra agora