34. Orang-Orang Tersayang

1.2K 158 97
                                    

Siapkan inhaler untuk bab ini!

*
*
*

Untuk ke tiga kalinya, Angkasa menguap. Ini bukan karena mengantuk, melainkan karena suntuk. Lelaki itu pun mengalihkan pandangan dari layar laptop untuk mengistirahatkan indera penglihatannya. Sudut bibirnya langsung terangkat begitu mendapati Rindu terlelap di atas sofa.

Angkasa segera bangkit dari duduknya dan berjalan pelan menuju kamar. Ia kembali ke ruang tengah setelah membawa bantal dan selimut. Dengan penuh hati-hati, lelaki itu mengangkat kepala Rindu dan meletakkan bantal di bawahnya. Setelah memastikan semuanya aman, Angkasa menutupi tubuh mungil Rindu dengan bed cover yang baru kembali dari laundry tadi sore.

"Tidur yang nyenyak, ya, Rin," bisik Angkasa. Sebelumnya, ia mencuri kesempatan untuk mencium kening Rindu lumayan lama. Kemudian, ia berjalan menuju dapur untuk membuat kopi.

Hubungan mereka sudah berjalan dua minggu per hari ini. Tidak ada perubahan yang signifikan di antara keduanya. Rindu masih sering memasang wajah galak dan melemparkan kalimat pedas. Angkasa juga masih suka menjahili gadis itu sampai emosinya tersulut. Namun, kini mereka lebih jujur akan perasaan masing-masing. Mereka tidak sungkan untuk mengekspresikan kasih dan sayang untuk satu sama lain. Salah satunya adalah menemani mengerjakan tugas. Seperti yang Rindu lakukan sekarang.

Sejauh ini, semuanya berjalan dengan lancar. Hanya saja, baik Rindu ataupun Angkasa, keduanya sepakat untuk tidak memberi tahu keluarga di Jakarta lebih dulu. Untuk saat ini, mereka hanya ingin menikmati momen kebersamaan berdua. Mereka ingin menciptakan kenangan yang indah bersama, tanpa perlu mengkhawatirkan banyak hal.

Dahi Angkasa berkerut ketika mendapati gelagat aneh Rindu. Padahal hanya ditinggalkan sekitar lima menit, tetapi tidur gadis itu sudah terganggu saja. Bahkan, keringat sudah membasahi kening Rindu. Dahinya berkerut, memancarkan kecemasan tiada tara. Air mata ikut mengguncang lelapnya Rindu.

"Kak Jayen ... jangan pergi ...."

Angkasa menyimpan kopi panasnya di samping laptop. Ia berlutut di hadapan Rindu, memegang tangannya yang terangkat pelan. "Rin, bangun. Hey? Rindu."

"Jangan tinggalin aku, Kak ...," lirih Rindu lagi.

"Buka matanya, Rin. Gue di sini, kok, di samping lo. Gue gak tinggalin lo." Angkasa menepuk pipi Rindu pelan.

"Kak .... Kak Jayen!"

Dengan sekali entakan, Rindu bangkit dari tidurnya. Tubuhnya langsung terduduk, membebaskan jiwa dari alam mimpi yang menyesakkan. Gadis itu mengedarkan pandangan, memindai sekitar dengan rasa takut yang masih menguasai diri. Hingga akhirnya, pandangan Rindu bertemu dengan sorot khawatir dari netra Angkasa.

"Are you okay?"

Rindu mengangguk seraya menyugar rambutnya ke belakang. "It's just a nightmare," jawabnya dengan suara serak.

"Ini, minum dulu." Angkasa memberikan gelas yang dibawa Rindu sebelum tidur tadi.

Gadis dengan rambut sebahu itu menurut saja, menyesap air mineral secukupnya, lalu diserahkan kembali pada Angkasa.

"Lo sering mimpi buruk kayak gini?" tanya Angkasa sambil mendudukkan diri di sofa.

"Dulu bisa tiap hari. Tapi sekarang udah mulai berkurang, setelah kita balikan." Rindu meraih tangan Angkasa dan menggenggamnya erat. Ia tersenyum tipis dan berkata, "Hei, gak usah khawatir kayak gitu. Itu cuma mimpi, kok."

Angkasa menggeleng cepat. "Gak, itu bukan cuma mimpi. Itu trauma lo, luka lo, sesuatu yang menyakiti lo. Pasti selama ini lo tersiksa, kan? Apalagi lo selalu memilih untuk memendam semuanya sendiri."

Forever Only [Tamat]Where stories live. Discover now