11. Kotak Pandora

1.6K 217 165
                                    

Tubuh Angkasa terjatuh di atas teras putih. Anehnya, bukan pinggang yang terasa sakit, melainkan lehernya. Ia pun berusaha bangkit dengan berpegangan pada tiang tembok di sana. Angkasa menatap ke sekeliling dengan alis berkerut. Sungguh, ia tidak mengenal tempat ini.

Saat ini, Angkasa berada di ujung koridor panjang. Sepoi angin menerpa wajahnya dengan lembut. Di sisi kiri, terdapat taman cantik yang dihiasi bunga warna-warni. Papan majalah dinding terpajang di tembok seberang sana. Suara ramai bersahutan dari segala sisi. Di belakangnya, terdapat lapangan basket, dikelilingi pagar kawat sekitar tiga meter. Satu kesimpulan kuat yang bisa Angkasa ambil. Ia berada di sebuah sekolah.

Namun, bagaimana bisa Angkasa terdampar di sini? Seingatnya, ia sedang mengerjakan tugas di kamar apartemen.

"Kak Jayen!"

Angkasa langsung berbalik begitu mendengar teriakan seorang gadis. Suara familiar, tetapi Angkasa tidak yakin di mana ia mendengarnya. Ia pun melangkah, berusaha mencari tahu sosok pemilik suara itu.

"Heh, lo siapa?"

Saat itu juga, kaki Angkasa berhenti bergerak. Suaranya hilang! Angkasa yakin, ia bicara barusan, tetapi tidak terdengar apa pun. Tidak peduli berapa kali Angkasa berusaha, tetapi tidak ada satu pun kebingungan yang berhasil Angkasa suarakan.

"Ngapain lo di sekolah gue?"

Mata Angkasa membulat ketika mendapati seseorang baru saja keluar dari sebuah ruangan dengan plakat 'toilet pria'. Berbeda dengan gadis itu, Angkasa bisa melihat dengan jelas sosok siswa laki-laki itu. Itu adalah Angkasa! Tepatnya, itu adalah Angkasa saat masih remaja. Wajahnya terlihat lebih segar dan suaranya belum seberat sekarang. Ia juga mengenakan seragam putih abu-abu, sama dengan gadis itu.

"Ini juga sekolah aku, kok," jawab sang gadis, lengkap dengan senyum lebarnya.

"Lho? Emang iya, lo sekolah di sini juga? Kok, gue gak pernah lihat lo?" tanya Angkasa Muda, terdengar skeptis.

"Itu karena Kak Jayen sibuk sama dunia sendiri, gak pernah ngelihat ke sekeliling. Makanya gak ngerasa pernah lihat aku. Padahal kita cukup sering papasan, lho." Gadis itu berdiri di samping Angkasa Muda, menyejajarkan langkah untuk meninggalkan area belakang sekolah. "Kakak udah makan?"

"Udah," singkat Angkasa sembari mengangguk kecil.

"Aku juga udah, eheh."

Angkasa menggaruk kepalanya sekuat tenaga. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Di mana Angkasa saat ini? Mengapa ia tidak bisa bicara? Siapa sosok gadis itu? Ada banyak sekali pertanyaan yang bercokol di kepala Angkasa. Namun, ia tidak tahu harus mencari jawaban ke mana.

Apa gue lagi mimpi? Tapi, kenapa semuanya kelihatan nyata banget?

Walaupun masih terjebak dalam kebingungan, Angkasa tetap melangkah, mengekori sosoknya yang lain yang berjalan beriringan dengan gadis itu. Angkasa Muda memandang lurus ke depan, sedangkan sang gadis terus curi-curi pandang. Bahkan, ia tidak berjalan dengan benar. Sesekali ia melompat kecil, seakan suasana hatinya jauh lebih cerah dibandingkan langit siang ini.

Sayang seribu sayang, gadis itu tak kunjung menoleh ke belakang sehingga Angkasa tidak bisa melihat wajahnya.

"Oh, iya. Kak Jayen udah dikasih tahu sama Tante Fany kalau nanti kita ada acara makan malam bersama?"

"Udah, kok. Gue usahakan hadir."

Langkah gadis itu terhenti, membuat Angkasa refleks melakukan hal yang sama. "Kok, gitu? Emang Kak Jayen ada acara?" Nada riangnya hilang entah ke mana, berganti lesu.

Angkasa mengangguk. Sembari memasukkan kedua tangannya ke saku celana, ia berkata, "Gue udah ada janji sama pacar gue."

"Tapi, mama papa bilang, makan malam nanti penting dan Kak Jayen juga harus hadir."

Forever Only [Tamat]Where stories live. Discover now