2010 - Kenapa Aku Harus Menulis

42 6 0
                                    


Siang ini, dua manusia keluar dari album foto. Seperti tak sengaja memasuki lubang cacing, aku terperana. Pintu gerbang masa lalu dan masa kini menjadi satu. Menjelma menjadi sosok dua manusia yang sangatlah kukenal. Mereka di di sana. Di ujung sana. Seorang gadis berwajah sendu dan seorang anak laki – laki berwajah sumringah.

Mungkin inilah yang terjadi mesin waktu dihidupkan. Tak tanggung – tanggung, aku melihat dua orang sekaligus! Dua orang yang sudah pergi dari hidupku 14 tahun lalu, muncul di hadapanku. Masih sama. Menjelma remaja – remaja tanggung berusia 17 tahun.

Bagi mereka, waktu sama sekali tidak beranjak. Bagaimana mungkin seseorang bisa selamanya nampak muda? Tak mungkin. Tak masuk akal. Impossible. Setidaknya di masa kini, harusnya mereka sudah berusia 31 tahun. Tapi...lagi – lagi kuyakinkan diriku. Mereka – masih – sama! Dan mereka sudah lama menghilang.

....

Biar kucerikan pada kalian semua. Bagaimana aku bisa bertemu dua manusia (atau hantu) itu?

Jadi, biar aku merunut waktu. Disinilah perjalanan ini dimulai.

25 Januari 2010. Siang yang begitu panas. Kota Jakarta sedang mendidih. Sejak pagi, ratusan orang dengan pakaian tim bola dari berbagai belahan dunia lalu lalang di sekitar Senayan. Mereka bukan asing. Hanya pendiduk lokal yang sedang menikmati euphoria piala dunia Afrika Selatan tahun ini. Kabarnya, hari ini trofi piala dunia dipamerkan di Jakarta Convention Center. Jadi banyak orang berbondong – bondong untuk melihat bentuknya secara langsung. Bukan hanya warga biasa, para artis juga tak kalah sibuk. Mereka bersiap menjadi tamu undangan atau pengisi acara musik yang menjadi salah satu venue.

Sama dengan orang lain yang tidak terlalu menyukai bola, aku sama sekali tidak tertarik untuk berkunjung ke JCC. Terlalu ramai. Aku lebih memilih meminum secangkir cappuccino dan sepotong croissant, di café favoritku yang letaknya sekitar beberapa ratus meter dari pusat keramaian. 

Laptop berada di depan mata dan aku sibuk menulis bab ketujuh dari buku travelku kali ini. Ditemani lagu waka – waka yang diputar berulang kali, jemariku bergerak mengikuti perintah. Kurunut lagi perjalanan di Rusia tahun lalu. Benteng Kremlin, aroma borscht, hingga aroma wine yang tercium dari setiap rumah makan. Lengkap dengan mencantumkan dokumentasi.

Aku seorang pencerita dan pengembara. Menulis adalah pekerjaanku, dan berkelana adalah hobiku. Sejak lulus dari Universitas Indonesia enam tahun lalu, aku mendedikasikan diri kepada perjalanan. Mengunjungi kota – kota di dunia berbekal nekat dan uang yang menipis. Bisa dibilang, aku seperti menggelandang, atau bahasa yang lebih keren; backpacker. Tentu versi paling minim budget.

Aku menghasilkan uang dari tempat - tempat yang kudatangi dan manusia - manusia yang kutemui. Berbekal uang seadanya yang kukumpulkan Ketika bekerja sampingan, aku memulai perjalanan ke Turki dan berakhir mengunjungi beberapa negara Balkan lewat jalur darat. Awalnya, aku hanya ingin menikmati hidup. Namun aku berakhir membuat catatan perjalanan. Catatan inilah yang akhirnya menjadi series "My Weirdest Adventure" dan berhasil melambungkan namaku sebagai  traveller. 

Eits, tapi mohon maaf. Cerita ini bukan tentangku. Jadi sampai sini saja aku bercerita tentang pekerjaan yang bagiku nggak penting – penting banget itu.

Okay, lanjut ke cerita.

Pukul 10.30. Di luar semakin ramai dan panas. Cappuccino sudah hampir habis dan croissant sudah tak bersisa. Bagian ketujuh sudah selesai, namun aku masih belum mau pulang.  Aku memilih menjadi pengamat. Mata - mata dadakan. Bagiku mengamati manusia dan segala dinamikanya itu menyenangkan. 

Aku bisa melihat berbagai macam jenis manusia dari dalam café. Bapak – bapak parlente yang sibuk dengan laptopnya, pegawai cantik bermuka masam yang nampak sedang tidak baik – baik saja, ibu dua anak yang sibuk menyuapi anak bungsunya, beberapa anak muda berpakaian timnas Argentina yang memesan kopi, juga dua orang anak kecil di luar.

Anak - anak itu menarik perhatianku. Dua orang anak kecil dengan kaos oblong berlarian, seorang bocah laki – laki dan seorang bocah perempuan. Si anak laki – laki berambut ikal dan berkulit pucat, dengan kaos sablon yang tak jelas lagi gambarnya. Sedangkan satu lagi adalah anak perempuan mungil dengan kuncir kuda, yang rambutnya kecoklatan karena terlalu akrab dengan matahari. Anak – anak ini jelas terbiasa hidup di jalanan. Bajunya yang lusuh, wajah penuh debu dan kecrekan berada di genggaman. Mereka kini menempelkan wajahnya ke café, sekitar 5 meter dari posisiku. Berdiri berjajar sembari menunjuk plang menu berukuran besar.

Aku melambaikan tangan sambil tersenyum pada mereka. Dibalas dengan seringai  canggung. Si ikal bahkan berusaha lebih akrab dengan melambaikan tangan. Ah, anak – anak yang lucu. Aku memberikan isyarat agar mereka menunggu, dan mereka pun mengangguk. Sepertinya siang ini mereka akan senang jika mendapatkan masing – masing satu box kentang goreng dan es krim.

Aku keluar dari café. Kuhampiri anak – anak itu. Kuacak – acak rambut si gadis cilik. Ia menatapku aneh, sedikit waspada. Mungkin di pikirannya: siapa manusia sok akrab ini? Haha. Aku suka sekali wajah bingungnya.

"Dek, mau kentang goreng sama coklat? Kakak belikan ya," tanyaku ramah.

Dengan senyum lebar, tanpa ba – bi – bu, mereka mengangguk serempak,"MAU!" 

Aku masuk lagi ke dalam café dan memesan makanan sesuai janji. Pegawai menyuruhku menunggu. Sesekali kulirik wajah riang anak – anak itu. Aku sendiri sangat tahu bahwa bagi mereka, sekecil apapun perbuatan baik, bisa menjadi hadiah yang menyenangkan.

Pesanan siap. Kuberikan masing - masing 1 box kentang ukuran sedang dan segelas minuman coklat. Mereka tersenyum girang. Berkali kali mengucap terimakasih. Hendak mencium tanganku, namun kesulitan karena tangan mereka terlalu penuh. Kubilang tidak usah, dan mereka pun mengangguk. Sekali lagi berterima kasih. Lalu dengan riang berlarian pergi, setengah berkejaran hingga akhirnya menghilang di balik modern-nya jalanan senayan.

Awan berarak, lalu lalang kendaraan bermotor mewarnai jalanan kota.

Saat itu.

Detik itu.

Tiba - tiba tepat dihadapanku kulihat dua orang yang tak asing. Seperti kabut, datang tanpa aba - aba, tanpa permisi. 

Dua orang itu berdiri mematung di ujung gang. Tepat dimana anak - anak menghilang. Dari rautnya, kuingat betul siapa mereka. Tak mungkin kulupa. 

Gadis itu, gadis 17 tahun yang bayangannya selalu kuhindari. Selalu kutepis tiap kali aku melihatnya secara tiba - tiba. Ia selalu muncul degan sosok sama. Seorang gadis remaja dengan dress coklat bermotif bunga. Gadis dengan wajah sendu yang sangat memuakkan. Aku membencinya. Bahkan bayangan atau sekadar ingatan tentangnya.

Dan pemuda itu, pemuda 17 tahun yang sosoknya selalu membuat dadaku terbakar dan kerongkonganku seperti menelan jarum. Sakit sekali, hingga rasanya aku mau mati kehabisan nafas. Pemuda yang dihadapanku selalu muncul dengan ekspresi sama; tersenyum. Senyum yang entah mengapa selalu berhasil membuat duniaku runtuh sepersekian detik.

Mereka adalah orang - orang yang 14 tahun terakhir selalu kuingat. Selalu mengiringi langkahku pada setiap momen dalam hidupku. Saat hari aku masuk universitas, saat hari wisuda, saat aku berjalan - jalan mengelilingi sudut bumi, juga saat aku bangun dipagi hari. Merekalah orang pertama yang muncul dalam benakku tiap kali aku membuka mata. 

Tapi kali ini berbeda. Mereka muncul layaknya suatu entitas yang nyata. Sesuatu yang mempunyai darah, daging dan jantung. Sesuatu yang hidup. Sesuatu yang seperti ditarik langsung dari suatu hari di masa lalu.

"Halo, partner" sapa pemuda itu. 

Aku terdiam. Detik itu aku menyadari bahwa ada satu kepingan yang kuabaikan. Satu kepingan ingatan yang sudah lama terpendam dalam rasa sakit dan waktu yang berjalan; sebuah janji. Sebuah janji yang mungkin mengikat bayangan mereka di sisiku selamanya.

"Halo juga. Kapten," Jawabku.

Anak laki - laki itu tersenyum. Begitu pula anak perempuan itu. Sebersit rindu sekaligus rasa sakit menyeruak. Melihat mereka, aku tahu bahwa aku tak bisa berlari lagi. Aku harus bercerita. 


Tentang Dia, Hujan dan Kisah LamaWhere stories live. Discover now