Bab 54 : A Moment To Remember

7.4K 769 44
                                    

Berteman dengan mantan? Not bad.

Aku justru merasa semakin akrab dengan Keenan setelah semua hal yang terjadi di antara kami. Saat ini dia memang memilih tinggal di apartemennya lagi, tapi sesekali masih mampir untuk memeriksa keadaan rumahnya sekaligus mengunjungi aku dan keluarga. Dan sejauh interaksi kami, semuanya terasa baik dan nyaman-nyaman saja.

Berita tentang aktifitas Keenan di dunia hiburan kembali sering menjadi headline berita, baik media online maupun infotainment di televisi. Aku turut senang dengan semua hal baik tentangnya. Bukan berarti aku terus mencari informasi terbarunya, hanya saja algoritma media sosialku masih saja menampilkan berita tentang Keenan.

Sementara, kegiatanku kembali disibukkan dengan menjadi mahasiswi lagi. Berkutat dengan tugas dan essay yang selalu saja ada setelah perkuliahan usai. Waktu berkumpul dengan teman-teman pun semakin sulit karena rutinitas yang kami jalani saat ini.

Namun bukan berarti komunikasi terputus. Adakalanya ada waktu senggang kami berbincang dan saling berbagi informasi meski hanya lewat panggilan video. Seperti sore ini, setelah menyelesaikan satu tugas, aku bergabung dalam panggilan video bersama keempat temanku.

"Betewe, Na, Keenan beneran mau nikah?"

Aku sedikit terkejut saat Uty yang membuka topik tentang Keenan, bukan Mila atau Diyah yang pernah menjadi penggemarnya.

"Tumben lo update, Ty." Nara yang pertama menanggapi. "Gue kira lo cuma sibuk ngapalin gejala sama nama penyakit pasien."

Uty tampak tersenyum miring. "Gimana, ya? Partner shift gue ada yang ngefans sama mantannya Nina itu. Tadi pagi auto heboh pas baca headline beritanya. Beneran, Na, lo bakal ditinggal nikah duluan?"

Aku tertawa mendengar pilihan kata dari pertanyaan Uty. "Entah. Keenan belum cerita, sih," jawabku.

"Info lo valid, Ty?" Mila menimpali.

Uty hanya mengendikkan bahu. "Enggak gue cari tahu lebih lanjut, sih. Kirain bisa dapat informasi paling valid dari tetangga sekaligus mantannya," jawabnya.

"Nanti, deh, gue tanya langsung kalau ketemu Keenan," balasku.

"Yakin?!"

Aku sempat terpana saat keempat temanku mengucapkan satu kata yang sama dengan kompak. "Enggak juga, sih," jawabku jujur.

Seketika tawa mereka meledak.

"Gue kira lo bakal berani nanya langsung," seloroh Nara setelah tawa kami mereda.

"Seakrab-akrabnya lo sama mantan, tetep bakal merasa canggung atau minimal merasa enggak enak lah kalau mau bahas perkara pasangan barunya," komentar Diyah.

Aku hanya mencebik menanggapinya.

"Eh, udah dulu, ya. Gue harus absen dulu, nih," pamit Uty, dan membuat kami sepakat mengakhiri panggilan bersama kali ini.

Aku memilih kembali pada tugas kuliah, menyiapkan materi presentasi untuk diskusi lusa, mencari teori dan menyusunnya dalam kerangka power point yang mudah dipahami.

Namun fokusku diinterupsi oleh tangan jail yang mengacak asal rambutku. "Kak Nino, ih, aku eng ... loh, ngapain di sini?" Protesku beralih menjadi heran mendapati ternyata Keenan yang mengganggu kegiatanku.

"Kenapa? Enggak boleh?" Dia malah balik bertanya dan langsung duduk di sampingku, melihat ke layar laptop sampai menghalangi pandanganku. "Lagi ngerjain apa, sih? Serius banget sampai enggak sadar gue datang."

Aku menutup laptop tanpa memberinya jawaban. "Lewat mana lo?" Ya, sapaan kami sekarang sudah berubah. Aku lupa siapa yang memulai, yang jelas penggunaan lo-gue membuat kami merasa lebih nyaman.

The Actor and IWhere stories live. Discover now