Bab 44 : Break Up

6.3K 675 48
                                    

Dejavu.

Situasi sekarang ini mengingatkan aku ketika bertemu Keenan pada awal liburan semester tahun lalu. Saat dia dengan hangat menyambut kepulanganku, dan sukses membuat isi kepalaku dipenuhi tanda tanya akan seberapa banyak dia tahu tentang aku dan keluargaku.

Pun saat ini, Keenan membuatku begitu penasaran akan isi kepalanya. Jika ingin mengakhiri hubungan kami, bukankah cukup dengan mengatakan putus saja? Bukannya berakhir pada suasana tegang nan canggung seperti ini. Sudah seperempat jam kami hanya duduk berdua, berhadapan dalam diam dan seakan hanya berlomba untuk menarik serta menghela napas panjang.

"Hanya untuk sementara."

Ucapan lirih Keenan itu seketika membuatku merasa bodoh dan menyesali keputusanku menuruti permintaannya untuk bicara baik-baik. Rupanya benar tebakanku tadi.

Andai saja dia tahu jika aku bersedia meluangkan waktu lebih banyak untuk mendengar semua keluh kesahnya. Menemaninya melewati saat-saat sulit menghadapi masalahnya kini. Tapi satu kalimatnya itu cukup menegaskan jika dia tidak butuh aku. Mungkin bagi Keenan, aku termasuk  dalam salah satu masalah yang justru harus dilenyapkan pertama kali.

"Banyak hal yang terjadi di luar kendali. Aku--"

"Oke, baik," potongku segera sebelum dia menambah ucapan yang berpotensi membuatku semakin merasa terluka. "Semoga masalahmu cepat selesai." Aku memaksakan senyum setelah bersuara.

"Aku harap kita baik-baik saja setelah hari ini, ya." Lagi, Keenan mengulas senyum palsunya. Dan itu sudah cukup membuatku merasa muak. "Setelah semuanya membaik--"

"Aku pulang duluan." Sekali lagi aku mencegahnya menuntaskan kalimat. Aku tidak bisa berjanji interaksi kami akan tetap sama baiknya setelah ini.

"Sebentar, aku antar, ya."

Aku tidak bisa lagi menahan senyum sinisku. Benar-benar tidak  bisa menerka jalan pikiran Keenan. Apa menurut Keenan keputusannya yang tiba-tiba ini bisa kuterima dengan baik?

"Enggak usah."

"Nin?"

"Dengar." Aku menepis tangannya yang hendak menjangkauku. "Aku bilang aku mengerti kalau kamu sedang ada masalah saat ini, mungkin rumit dan gak bisa kuberikan solusinya." Aku menjeda, menarik napas dalam, menguatkan diri. "Tapi untuk tetap merasa baik-baik saja sama kamu ke depannya, aku gak bisa jamin."

Keenan terdiam. Aku menatap lurus matanya yang menyorot lemah. Hei, kenapa dia berlaku seolah dialah yang paling terluka? Padahal semua ini juga keputusannya sendiri.

Aku langsung bangkit dan meninggalkannya, mengabaikan rasa ingin tahu untuk mempertanyakan alasan Keenan membuat keputusan ini. Dan hanya bisa menahan kecewa karena menyadari Keenan bahkan tidak mencegahku meninggalkannya.

Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku terasa sesak dan sibuk menerka alasan Keenan melakukan ini padaku. Aku berusaha berpikir positif, meyakinkan diri jika Keenan melakukannya dengan alasan yang baik. Tapi semuanya hanya bermuara pada asumsi tanpa kepastian.

Sampai di rumah kuteruskan langkah menuju dapur, mengambil sebotol air dari kulkas dan menandaskannya dalam sekali minum.

"Loh, udah pulang, Na?" Mama yang sedang sibuk di dapur menatapku heran. "Mama kira mau sampai makan malam. Keenan kenapa gak diajak mampir. Udah lama Mama gak ketemu dia."

Aku memilih duduk di depan Mama, melirik Kak Nino yang sedang duduk sambil fokus ke ponselnya di meja makan tak jauh dari area dapur. "Kami udah putus."

Mama dan Kak Nino kompak menatapku untuk sejenak. Dan tanpa bertanya lebih lanjut, keduanya kembali meneruskan kegiatan masing-masing. Seolah hal yang kualami ini hanyalah hal remeh dan biasa terjadi, atau mungkin mereka sudah memprediksikannya?

Merasa diabaikan, kuputuskan meninggalkan area dapur. Baru beberapa langkah, Kak Nino menyusulku, mengacak rambutku kemudian berucap, "Nanti malam nonton bareng, yuk. Ada film baru yang seru."

***

Aku menatap layar televisi tanpa minat. Bukan karena film pilihan Kak Nino yang kurang menarik, tapi lebih kepada suasana hatiku yang tidak baik untuk menikmati film dengan genre komedi. Saat ini bahkan belum jam 9 malam, tapi rasanya aku ingin rebahan dan melepas penatbl saja di kamar.

"Enggak suka filmnya?"

Aku menggeleng lemah. "Cuma enggak sesuai sama suasana hati."

Kak Nino terkekeh. Dia yang sebelumnya duduk santai di sofa kini berpindah ke sisiku yang duduk melantai di depan sofa.

"Putus cinta itu hal yang wajar," ujarnya, "Enggak usah dibawa galau."

"Dia gak jelasin alasannya minta putus," cicitku.

"Kamu gak minta penjelasan?"

Aku menggeleng lemah. "Keburu emosi."

Kak Nino menghela napas. "Emosi jangan dituruti."

Aku hanya manyun mendengar komentar Kak Nino. "Jadi, mau ketemu lagi buat bicara baik-baik atau--"

"Enggak! Enggak Mau!"

"Ya, udah, enggak usah dipikirin lagi. Putus, ya urusannya udah selesai."

Aku mendengkus.  Sebenarnya ada perasaan sedih, kecewa, juga marah. Tapi, setelah dipikirkan lagi, aku juga tidak mau tampak seperti mengemis cinta dengan menuntut penjelasan Keenan. Memikirkan itu saja sudah membuat kepalaku terasa pening.

"Daripada habisin tenaga mikirin mantan, mending bantuin Kakak ngurusin persiapan nikahan. Udah deket, loh, ini," seloroh Kak Nino sambil mengerling sok genit.

Aku mencebik melihat tingkah Kak Nino. "Kirain tadi mau hibur aku, tahunya lagi butuh tenaga gratisan buat nikahan."

"Enggak usah mikirin cinta-cintaan dulu, lah. Fokus ke kuliah kamu aja dulu," pesan Kak Nino, tangannya memainkan ujung rambutku yang kugerai.

Suara gaduh yang tiba-tiba dari pintu depan menarik perhatianku dan Kak Nino. Kami saling pandang dengan kening mengkerut. Tapi, suara langkah yang tergesa membuat kami tahu pelakunya.

Kak Nita muncul dengan ekspresi heboh, saat melihatku matanya semakin melebar. Dengan langkah cepat dia menghampiri, kemudian duduk di sampingku.

"Lo beneran putus?!" tanyanya sambil mengguncang lengan kananku.

Aku balas menatapnya malas, tanpa memberi jawaban.

"Seriusan?! Lo yang minta putus atau diputu...aaww, sakit, Ninoo," protes Kak Nita karena bantal sofa yang dilemparkan Kak Nino mendarat tepat di wajahnya sebelum dia menyelesaikan kalimat.

"Lo nyambi jadi wartawan gosip sekarang, hah?!" sindir Kak Nino.

"Tahu dari mana, Kak?"

Kak Nita tampak mengatur napas, kemudian mengeluarkan ponsel dari tas lusuh kesayangannya. "Gue dapet kiriman video dari temen sih," jawabnya kemudian memutar video yang dimaksud.

Aku menontonnya, menyaksikan Keenan yang berkumpul bersama beberapa pesohor lainnya. Dia tampak tenang dan memasang senyum ceria--jelas tidak ada ekspresi patah hati seperti yang dia tampilkan tadi sore. Ada tulisan kecil dengan tanda panah yang mengarah pada Keenan, 'Now Jomblo'.

Aku menghela napas, kecewa. Dia tampak santai dan seolah merayakan perpisahan kami. Dan bodohnya aku malah terlalu memikirkan dan dibuat galau olehnya.

Kak Nino merebut paksa ponsel Kak Nita di tanganku. "Enggak usah dipikirin lagi," ucapnya.

Aku mengangguk. Untuk apa terus memikirkan dia yang bahkan tanpa beban mengumumkan perpisahan kami. Aku meraih ponsel di atas meja. Membuka kontak dan memblokir nomor Keenan. Begitu pun dengan media sosialnya. Semua akses interaksi dengannya harus dihentikan malam ini juga.

***

The Actor and IWhere stories live. Discover now