Bab 51 : The Hidden Part

6K 659 36
                                    

"Kalau menurut gue, sih, lo belum selesai, Na."

Aku menatap lurus layar ponsel yang menampilkan Nara dengan ekspresi seriusnya, bersiap mendengar opini panjangnya setelah mendengar curhatanku.

"Ini bukan perkara lo yang gagal move on. Ya, emang karena belum selesai aja. Ngerti maksud gue, ga? Coba deh, beraniin diri buat ngajak Keenan bicara, berdua, dari hati ke hati. Diskusi baik-baik, bukannya menghindar terus dari dia. Nah, setelah itu baru bikin keputusan, lo mau baik-baik aja atau sekalian benci dia sampai mati," terang Nara, "Kalau nurutin gengsi, ya, resikonya lo enggak bakal nyaman terus kalau ada dia. Bingung sendiri, mau ditanggepin atau buang muka."

Aku menghela napas panjang mendengar saran Nara.

"Masalah utama lo itu komunikasi, Na," tambahnya lagi. "Lebih cepat lo bicara sama dia, lebih cepat juga lo merasa lega."

Aku mengangguk. "Thanks sarannya," ucapku tulus.

"Jangan cuma bilang terima kasih. Praktekkin!" titah Nara dengan wajah sok galak.

"Iya, iya. Nanti gue laksanakan."

"Nantinya itu kapan?"

Aku hanya bisa tersenyum kecut. Membalas tatapan Nara yang seolah mampu membaca jalan pikiranku.

"Apa semua alumni jurusan psikologi itu bisa baca pikiran?"

Nara tampak mendengus. "Lo kebiasaan, ya. Kalau udah merasa terpojok langsung ngalihin pembicaraan," keluhnya yang membuatku terkekeh. "Pokoknya sesi selanjutnya gue enggak mau dengar keluhan tentang kisah cinta lo yang enggan beres ini, ya."

"Siap, Bu Kinara," ucapku dengan gestur memberi hormat.

"Oke, deh. Gue mau menjernihkan pikiran dulu sebelum buka sesi curhat buat si calon dokter muda," tutupnya sambil melambaikan tangan, kemudian mengakhiri panggilan video.

Tawaku tidak bisa kucegah, aku sangat paham yang dimaksud Nara adalah Uty yang masih galau menunggu pengumuman seleksi koas. Nara memang menjadi tempat curhat kami. Bahkan setelah berpisah dari asrama, dia justru seolah menagih kami untuk terus berbagi cerita. Katanya, sih, sekadar latihan sebelum memulai praktek sebenarnya sebagai seorang psikolog.

Aku mengusap wajah setelah meletakkan ponsel, memikirkan baik-baik saran dari Nara. Ucapan Nara ada benarnya, tapi bagaimana melakukannya jika hanya dengan kehadiran Keenan saja aku sudah merasa serba salah duluan?

"Ah, lihat nanti saja lah."

Kuputuskan untuk beralih membuat rekapitulasi pesanan yang diterima toko online Kak Nita sejak kemarin. Tidak kusangka, penjualan perlengkapan mendaki ternyata bisa ramai juga.

"Kenapa Kak Nita enggak mau buka toko offline juga, ya?"

Fokusku dari laptop diinterupsi dengan dering ponselku. Ada panggilan dari Mama.

"Ya, Ma? Ada apa?"

"Lagi sibuk, ya?"

"Enggak juga. Kenapa memangnya?"

"Kamu bisa ke rumah sebelah, ga? Tengokin Keenan. Ini mamanya Keenan kayanya udah panik banget sampai minta tolong sama Mama. Katanya Keenan ditelepon dari pagi tadi, tapi ga diangkat-angkat juga. Dari kemarin, kan ,dia memang kurang enak badan."

Aku memeriksa jam, sudah lewat jam 10.

"Kamu bisa? Atau Mama balik aja, biar langsung periksa sendiri?"

"Aku aja, Ma."

"Yakin?"

"Heem," jawabku sambil mengangguk meski tahu Mama tidak akan melihatku. "Nanti aku kabari lagi, ya."

The Actor and IWhere stories live. Discover now