Bab 36 : Keenan's Family

8K 581 6
                                    

Aku tertegun menatap teh hangat yang disuguhkan Tante Ana. Tadinya niatku hanya sekadar membantunya membawa barang belanjaan saja. Tapi, sekarang justru aku terjebak di area pantrynya dan kebingungan harus mengucap pamit undur diri dengan kalimat apa.

"... Perempuan itu memang lebih tangguh dari laki-laki, Nin. Buktinya Tante, nih, yang tetap sigap bangun pagi, beberes ini dan itu sampai belanja sendirian setelah perjalanan kemarin. Dua laki-laki yang bersama Tante malah masih molor. Kelelahan katanya pas dibangunin tadi," celoteh Tante Ana, kedua tangannya tetap sibuk mengeluarkan ragam barang dari kantong belanja dan menatanya di kulkas dapurnya.

Aku hanya mengulas senyum tipis menanggapi saat Tante Ana menghampiriku--setelah selesai memindahkan seluruh belanjaan ke lemari pendingin, membuat teh untuk dirinya sendiri, kemudian duduk manis di hadapanku.

"Tante enggak langsung masak?" tanyaku basa-basi agar dapat kesempatan untuk pamit juga.

Tante Ana menggeleng pelan. "Nanti saja lah. Keenan sama papanya juga jarang sarapan. Kalau pun mau, toh, ada roti tawar sama selai yang tersedia. Oma juga masih istirahat setelah sarapan pake bubur khusus tadi sebelum Tante pergi belanja," balasnya, kemudian meneguk tehnya.

"Oh, begitu, ya." Aku ikut menyeruput teh, masih dengan salah tingkah karena ini adalah momen pertama sejak Tante Ana tahu hubunganku dengan anak tunggalnya. "Oma sekarang kondisinya bagaimana, Tante?"

"Baik," jawabnya cepat, "Setidaknya lebih baik sejak kena serangan stroke pertama kali. Dan beruntungnya kemarin lebih banyak tidur waktu kami harus menunggu lama di bandara Changi." Tante Ana sedikit terkekeh setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Menunggu lama? Kok bisa, Tan?"

Tante Ana menghela napas, kemudian memulai kisah penuh drama yang harus dia dan keluarganya alami karena kesalahan suaminya saat memesan tiket pesawat. Rencana mereka akan mengambil penerbangan sekitar jam 10 pagi, tapi papa Keenan justru keliru dan memesan tiket untuk jam 15.10.

Aku sesekali menanggapi penuturan Tante Ana dengan tawa kecil. Mendengarnya bercerita dengan santai membuat rasa kaku dan canggungku turut terurai.

"... Kamu pasti bisa bayangin sendiri, kan, bagaimana uring-uringannya Keenan karena kejadian itu. Dia cuman terus duduk dengan muka super kusut."

Ya, aku tahu. Kemarin Keenan terus memberondongiku dengan pesan beruntun. Berbagi rasa kesal karena ibunya memutuskan menunggu di bandara, daripada pulang ke rumah kerabat mereka lagi. Tapi, dia tidak menceritakan bagian penyebab harus menunggu begitu lama di bandara.

"Oh, pagi, Pa."

Sapaan Tante Ana membuatku kembali tegang. Seingatku, interaksi terakhir dengan papanya Keenan--Om Abi, terjadi saat aku akan menjadi mahasiswa. Dan jelas itu sudah lama sekali. Aku bahkan sudah lupa bagaimana kepribadiannya. Aku memilih meraih gelas teh yang isinya sudah berkurang setengah demi menyembunyikan perasaan gugup dan bingungku untuk menghadapinya.

"Mau teh hangat juga?" Tante Ana menawarkan. Aku tidak bisa melihat tanggapan Om Abi, yang jelas Tante Ana mulai beranjak, dan bergerak menuju tempatnya membuat teh tadi.

"Eh, ada calon mantu kita, Ma."

Suara berat dan kalimat singkat Om Abi sukses membuatku terbatuk dan menyemburkan teh yang belum sempat kutelan. Masih dengan perasaan gugup, aku berusaha membersihkan tumpahan teh di dekatku, juga yang menetes ke celana olahragaku.

"M-maaf," lirihku, kemudian mengambil lagi selembar tisu untuk membersihkan mulutku.

"Pa," tegur Tante Ana, "Nina sampai kaget, loh," ucapnya, kemudian menghampiriku. "Kamu enggak apa-apa, kan, sayang?" tanyanya sambil membantuku membereskan kekacauan yang sudah kuciptakan.

The Actor and IWhere stories live. Discover now