Bab 40 : Two Different Things

8.2K 733 22
                                    

Kami menyebutnya ritual pelepas penat. Meski itu hanyalah sekadar berkumpul bersama dan berbagi cerita tidak penting. Hilangnya beban setelah ujian akhir membuat kami merasa bebas  dan merdeka untuk mendiskusikan ini dan itu dengan panjang lebar.

Kali ini Uty yang memilih lokasi. Dia membawa kami ke tempat kerja tetangga kosannya yang ternyata berada tepat di depan gerbang kampus. Toko kue yang lumayan terkenal dengan beberapa set meja dan kursi yang digelar di depan toko, tampak seperti kafe dengan konsep outdoor. Hanya saja karena lokasi yang tepat di sisi jalan raya, banyak pembeli yang memilih untuk membawa pulang pesanannya.

Aku melihat jam di ponselku, hampir pukul 4 sore. Artinya sudah ada sekitar 2 jam kami di sini, menikmati panganan manis, dan juga sibuk mengagumi pesona tetangga kosan Uty. Ah, sedikit koreksi, teman-temanku yang terus melontarkan pujian untuknya. Aku hanya mendengar--dan mengiyakan ucapan mereka.

"Enggak timpang lah kalau sebelahan sama Keenan. Bisa diadu, kan?"

Aku melirik Nara saat dia menyebutkan nama Keenan.

"Hush! Pawangnya ada di sini," tegur Diyah, "Tapi, gue setuju, sih," sambungnya, dan sukses membuatku mencebik pada mereka berdua.

"Tetangga lo lebih cakep, Ty," seloroh Mila, balas melirik tajam padaku.

Aku hanya menggeleng melihat tingkah Mila.

"Wah, jangan bilang Keenan punya indera ke enam. Bisa-bisanya langsung nelepon lo pas namanya di sebut, Na."

Aku segera meraih ponsel yang memang sengaja kami letakkan di tengah-tengah meja.

"Ya?"

"Kamu di mana?"

"Lagi di toko kue, masih sekitaran kampus, kok. Kenapa?"

"Aku jemput, ya."

Tentu aku sedikit heran mendengar tawaran Keenan. Seingatku saat kami saling berkabar tadi pagi, hari ini dia mulai sibuk persiapan untuk film barunya.

"Halo? Aku boleh jemput, kan?"

"Ya, tentu."

"Kirim pesan kalau kalian udah selesai, ya."

"Oke."

"Bye."

Keenan mengakhiri sambungan lebih dulu. Aku terus menatap layar ponsel sampai cahayanya meredup. Entah, sepertinya ada yang aneh dengan tingkah Keenan.

"Kenapa, Na?"

"Eoh?!" Aku sedikit tersentak saat Nara bertanya sambil menyikut pinggangku. "Keenan mau ketemuan," jawabku.

"Duh, yang lagi kasmaran," goda Diyah, "Pacar lo boleh banget gabung sama kita, Na," tambahnya.

"Enggak usah, ye. Gue masih kagok kalau harus interaksi lagi sama Keenan."

Aku tertawa mendengar ucapan Mila. Teringat kaku dan canggungnya pertemuan mereka dengan Keenan.

"Kita enggak ada hal penting lagi, kan? Lo boleh minta jemput sekarang, kok, Na," ujar Nara. "Sedikit saran aja, sih. Muka lo kaya kepikiran terus."

Nara memang selalu mudah membaca kami. Mungkin tak lepas dari statusnya yang merupakan mahasiswi psikologi. Segera kuraih kembali ponselku dan mengirim pesan agar Keenan segera datang.

Keenan :
Aku sudah dekat.
Aku pakai mobil pribadi, langsung masuk aja, ya. Salam buat teman-temanmu. Maaf ga bisa mampir dan menyapa.

Balasan Keenan datang tidak lama setelahnya. Isi pesannya itu tentu membuatku semakin penasaran.

Aku pamit dan bergegas melangkah saat melihat mobil Keenan sudah mendekat. Langsung mengangkat dan melambaikan tangan saat tiba di tepi jalan.

The Actor and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang