Bab 52 : Decision

5.9K 631 45
                                    

Keenan bangun setelah hampir 2 jam terlelap. Aku terus mengamatinya menggeliat dan meregangkan badan di sofa. Dia tampak terkejut saat mendapatiku duduk tenang sambil memeluk lutut di depannya.

"Hai," sapanya dengan suara serak khas orang baru bangun. "Maaf bikin repot," ucapnya dengan kening mengernyit saat berusaha bangkit.

"Jangan banyak gerak dulu." Aku mendekat dan membantunya untuk duduk. Juga mengusap keringat yang muncul di pelipisnya.

"Makasih," lirihnya.

"Masih merasa pusing?"

"Sedikit."

"Kamu butuh apa? Bilang saja, enggak usah sungkan."

Keenan hanya mengulas senyum, menatapku dengan sorot mata yang sayu. "Kamu sudah makan?"

Aku mengangguk. "Tadi sudah makan nasi goreng sama Kak Adi."

"Kak Adi ada di sini?"

"Tadinya," jawabku, "Dia juga panik karena kamu enggak jawab teleponnya. Tapi karena ada urusan lagi, dia harus pergi. Katanya bakal balik ke sini kalau urusannya sudah selesai, rencananya dia mau menginap," jelasku.

Keenan menatapku lekat. "Kak Adi bilang apa saja sama kamu?"

Aku tidak langsung memberi jawaban, justru menikmati rasa penasaran bercampur segan di wajah Keenan.

Keenan merapatkan tubuhnya padaku, satu tangannya terjulur dan menggenggam jemariku. Aku membiarkannya. Tidak menyambut, pun tidak menolak.

"Mungkin semua hal yang ingin kamu sembunyikan dari aku, juga ekstra amarah yang kuyakini salah sasaran," selorohku santai.

Aku bisa mendengar helaan napas berat Keenan. "Maaf, nanti aku akan jelaskan semuanya sama Kak Adi. Dia sudah salah paham. Bodohnya aku yang terus membiarkannya."

"Enggak perlu. Aku kalau jadi manajermu mungkin akan mengamuk juga sama apapun yang berpotensi mengganggu karier kamu." Aku menatap dalam mata Keenan. "Perjalanan karier kamu masih panjang. Masih banyak hal yang bisa kamu coba juga. Jangan berhenti, ya," pintaku. "Pikirkan juga orang-orang yang sudah ikut berjuang bersama kamu untuk sampai di titik karier sekarang ini."

"Kamu bilang begini karena terpengaruh ucapan manajerku?"

"Sepertinya," jawabku pelan.

"Aku capek, terus-terusan dapat sorotan. Aku mau hidup normal juga. Dimana urusan pribadiku hanya jadi beban pikiranku seorang diri, enggak ada campur tangan dari orang lain." Keenan mulai mengoceh. "Aku mau tenang ... sama kamu," tambahnya sambil menatap tepat pada mataku, juga mengeratkan genggamannya pada telapak tanganku.

Aku menarik napas dalam sebelum menanggapinya. Berusaha memilih kata yang baik agar tidak menyakiti Keenan. "Tapi ... menurutku kita ini memang lebih baik jadi tetangga saja. Tidak lebih," balasku. "Atau mungkin kita bisa jadi teman baik juga. Sama seperti interaksi kamu sama saudaraku yang lainnya."

Genggaman tangan Keenan mengendur. Wajahnya menampakkan ekspresi tidak terima. "Aku sayang sama kamu."

"Aku juga," balasku.

"Tapi, kenapa ... ?"

"Sayang aja enggak cukup," potongku cepat. "Harus ada sikap saling percaya juga. Dan aku merasa kalau kamu yang enggak mau percaya sama aku."

"Maksud kamu?"

"Aku pernah bilang, kan, kalau aku paham dan mengerti situasi kamu yang merupakan orang terkenal. Aku bisa menanggung resiko kalau ada penggemar kamu yang enggak suka sama aku. Aku bisa ngatasin itu sendiri," jelasku, "Tapi lihat yang kamu lakukan. Bermaksud baik untuk melindungiku, tapi dengan jalan mengakhiri sepihak hubungan kita tanpa penjelasan? Dan bikin pengumuman di media sosial kamu beberapa jam setelahnya. Kamu mau memintaku memaklumi keputusan itu? Sikapmu itu yang justru bikin aku dulu sakit hati, Keenan."

Keenan terdiam.

"Jangan samain aku sama Arabella yang memilih melepas kamu karena menyerah sama perlakuan penggemar kamu yang fanatik itu."

Keenan jelas tampak terkejut saat aku menyebut nama mantannya itu.

"Beberapa hari yang lalu aku enggak sengaja ketemu sama dia bareng Becca," jelasku sebelum Keenan bertanya asal muasal aku tahu tentang dia dan mantannya itu. "Dia enggak ngomong langsung alasan kalian putus. Tapi dari kalimatnya saat itu, aku bisa paham maksudnya seperti itu."

"Kita bisa memperbaiki semuanya. Kita bisa mulai lagi dari awal. Aku akan sepenuhnya percaya sama kamu mulai sekarang. Diskusiin semua hal sama kamu sebelum aku bertindak. Sungguh."

Rasanya tidak tega mendengar Keenan memelas seperti itu. Tapi, aku sudah teguh pada keputusanku. Menerimanya kembali dengan rasa kasihan yang dominan seperti saat ini bisa jadi hanya membuat kami justru semakin terluka dikemudian hari. Aku tetap menggeleng pelan menanggapi kalimatnya.

Keenan melepaskan pegangan pada tanganku. Dia bergeser memberi jarak, dan tampak merenung sejenak. "Aku bikin kamu jadi sesakit ini, ya?" lirihnya.

"Aku ga sedang balas dendam. Dari sisiku, kita memang lebih baik enggak pacaran. Hanya itu. Kita masih bisa punya hubungan baik, kok." Dan aku tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti justru bisa kembali sama kamu lagi.

Kubiarkan kalimat terakhir itu tertahan di otakku. Tidak ingin memberi harapan pada Keenan yang tampak putus asa saat ini. Tapi jujur, aku sangat tersentuh mendapati kesungguhan ungkapan rasa sayangnya padaku.

"Aku maunya fokus sama diri aku sendiri dulu. Sekarang saja masih bingung mau ikut program magang atau lanjut S2 lebih dulu," tambahku, semoga dia tidak semakin terluka.

Dan hening. Keenan tampak menjadikan karpet tempat kakinya berpijak sebagai pemandangan terbaik. Sedikit pun tidak menoleh untuk menunjukkan reaksinya akan kalimatku yang terakhir.

"Kita impas," ucapnya, setelah jeda yang lumayan lama. "Aku bakal susah buat luapin kamu."

Aku merasa amat bersalah mendengar ucapan Keenan. "Ssstt ... yang bilang begitu biasanya justru lebih dulu dapat pasangan baru," ucapku, mencoba menghiburnya.

Keenan menggeleng tegas. Dia hanya memandangku dengan sorot tak berdaya. "Aku boleh peluk kamu, ga?" lirihnya.

"Tentu." Aku mendekati Keenan lebih dulu, merentangkan tangan untuk mendekapnya. "Ini bukan pelukan perpisahan," bisikku, saat Keenan membalas.

"Entahlah," lirihnya, "Tadinya aku tinggal di sini lagi biar bisa yakinin kamu, dan ikut aku ke Singapura bulan depan."

Aku menepuk punggung Keenan dengan gerakan teratur. "Salam buat orang tua kamu."

Aku membiarkan Keenan merasa nyaman dalam dekapanku. Benar kata Nara, kami hanya butuh komunikasi, bicara empat mata dengan baik. Aku merasa lega meski ada rasa tidak tega yang membersamai melihat sorot terluka di mata Keenan. Tapi aku juga yakin, seiring berjalannya waktu, dia pasti bisa menerima situasi kami setelah ini.

Keenan menghela napas saat akhirnya mengurai pelukan kami. Aku membiarkan dia menangkup wajahku dan turut membalas tatapannya.

Tidak ada kata yang terucap. Hanya sorot mata yang saling berbalas.

Dengan momen ini, aku merasa yakin Keenan pun sudah menerima dengan baik pilihanku.

"Bisa buka blokir nomorku?"

Aku menahan senyum mendengar permintaannya. Baru sadar jika aku belum membuka blokir kontaknya setelah sekian lama.

"Tentu," jawabku, kemudian meraih ponsel dan segera melakukan permintaan Keenan. "Jangan sungkan untuk hubungi aku."

Keenan mengangguk.

"Dan untuk media sosial, mungkin lebih baik dibiarkan saja seperti sekarang."

"Terserah kamu saja," balasnya, dan kini dia pun ikut mengulas senyum.

***

The Actor and IWhere stories live. Discover now