Bab 31 : To Tell Everyone

8.3K 699 6
                                    

Aku tertegun. Bukan karena begitu terkejut mendapati penampakan Keenan yang sedang bermain bulutangkis di depan rumah, tapi karena lawan mainnya yang sekarang ini belum menyadari kehadiranku.

Tempo hari sebelum Keenan pulang ke tanah air, kami masih sempat berkomunikasi, bertukar kabar dan sekalian kusampaikan jika hubungan kami sudah diketahui oleh orang rumah. Keenan tentu sangat senang mendengar hal itu. Tapi, satu kekeliruan yang baru kusadari sekarang, aku lupa mengecualikan satu orang yang belum kuajak bicara. Sosok yang kini tampak santai dan terus menangkis bola berbulu yang dipukul Keenan. Papa.

Keenan seketika melambaikan tangan kirinya yang bebas dengan ceria saat mata kami bertemu, sementara tangan kanannya masih setia meladeni pengembalian bola dari papa.

Aku membalasnya dengan senyum dan gerakan kaku. "Mati aku!"

Tidak butuh waktu lama sampai papa berbalik dan menatap lurus pergerakanku. Turut mengulas senyum menyambut aku yang baru pulang kuliah di waktu sore.

"Baru pulang, Na," komentar papa.

Aku mengangguk kecil, bergegas mendekati papa dan mencium tangannya. Bisa kurasakan tepukan kecilnya di punggungku.

"Masuk, gih, bantu mamamu masak buat nanti malam."

"Oke," patuhku, kemudian meneruskan langkah untuk masuk ke rumah. Melewati Keenan yang mengerling genit ke arahku. Aku membalasnya dengan mata membola.

Keenan terkekeh. "Kaget, ya, aku sudah sampai di sini?"

Aku tidak menanggapi. Memilih berjalan cepat meninggalkan halaman. Tidak mau ambil pusing dulu perkara keberadaannya saat ini meski pesan terakhirnya mengatakan jika dia baru bisa pulang ke rumah esok hari.

"Ma, Papa sama Keenan udah dari tadi main bareng?" tanyaku saat menghampiri mama yang tengah sibuk seorang diri di dapur.

Mama menoleh dengan kening mengkerut. "Mama dari tadi di dalam rumah, Na," jawab mama, kemudian kembali fokus pada kangkung yang dicucinya. "Memang kenapa kalau mereka lagi bareng?"

"Kalau Keenan keceplosan gimana? Maksudku, aku, kan, belum sempat bicara sama Papa."

"Mama kira kamu sudah kasih tahu ke Papa. Toh sudah beberapa hari sejak kita bicarain ini, kan?"

Aku menghela napas pasrah. "Papa bakal marah nggak, ya?"

Mama mengendikkan bahu, cuek. Memilih fokus pada masakannya.

Aku langsung memanyunkan bibir melihat reaksi mama.

"Sudah, nggak usah dipikirin. Mending bantu Mama sini."

Aku bangkit mendekati mama. Mengambil pisau dan memotong tomat yang akan ditumis bersama kangkung yang sudah di bersihkan. "Kak Nita ke mana, Ma?"

"Ke rumah si kembar. Katanya mau nginap di sana sebelum mulai mendaki lagi."

Aku mengangguk dan tidak menanggapi lagi, memilih beralih mengiris bawang merah yang akan turut dicampurkan ke dalam tumisan. Sebenarnya ingin menanyakan Kak Nino juga, tapi ada rasa tidak enak karena kami masih dalam mode perang dingin.

Semua masakan sudah matang saat jarum pendek jam dinding di dapur berada di antara angka 5 dan 6. Aku sudah mencuci tangan dan berniat ke kamar untuk mandi dan ganti baju ketika papa muncul dengan tampilan khasnya yang baru selesai mandi.

Aku refleks menelan ludah dan mengulas senyum kaku saat mata kami bertemu.

Papa berdiri sambil bertolak pinggang di depanku, menatapku lurus, kemudian menghela napas. "Mamamu pasti sudah kasih ceramah panjang lebar, kan?"

The Actor and IWhere stories live. Discover now