30. Gratia dei

Mulai dari awal
                                    

“Bii,” ucap ibu Bii, setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Bii mengulurkan mukena tersebut. “Bii disuruh Umi mengantar ini. Itu … Ibu belum salat Subuh, kan?"

“Boleh Ibu peluk kamu?” tanya wanita itu dengan nada bergetar.

Bii mengembuskan napas panjang, lagi-lagi kata-kata Nuha memenuhi isi kepalanya. Penerimaan. Toh tak ada gunanya ia memendam dendam, itu hanya akan menggerogotinya. Sekali lagi, ia akan berusaha berdamai dengan semuanya.

Perlahan, Bii mengangguk.

Langsung saja wanita itu memeluk Bii sambil menangis, berulang-ulang mengatakan kalimat yang sama, “Ibu minta maaf, Ibu minta maaf.”

Meski ragu, akhirnya Bii membalas pelukan sang ibu. “Bii udah maafin Ibu, maafin Bii juga, Bu.”

Derai air mata wanita itu semakin deras. “Tidak Bii, tidak. Kamu tidak salah, Ibu yang salah, Ibu yang berdosa sama kamu, Sayang. Maafkan Ibu.”

Beberapa saat melepas sesak, Bii menunggu sang ibu melaksanakan salat dengan duduk di kursi teras. Dipandangnya pohon mangga di depan, juga langit yang masih gelap. Bii menunduk sekilas, lalu menyunggingkan senyum, bergumam lirih, “Aku ikhlas ya Allah, aku mengikhlaskan semua yang terjadi. Tolong bantu lapangkan hatiku untuk bisa mengikhlaskan semuanya. Aamiin.”

Tak lama, ibunya keluar dari kamar. Beliau duduk di kursi kosong yang ada, terpisah sebuah meja kecil.

“Bagaimana Ibu bisa menebus kesalahan Ibu, Inbihaaj? Meski Ibu yakin, kalau itu mustahil. Ibu paham luka kamu tidak akan bisa sembuh hanya dengan ucapan maaf dari Ibu. Pasti berat untuk kamu menjalani semuanya selama ini. Ibu minta maaf.” Perempuan itu menunduk dalam.

“Sudah Bii bilang, Bii sudah memaafkan Ibu. Lagipula, Bii sudah belajar menerima semuanya, belajar berdamai sama diri sendiri. Nuha, Mas Hijir, Umi, dan yang lain di sini, sangat-sangat membantu Bii pulih, Bu. Meski Bii tahu, tidak akan bisa sepenuhnya pulih. Bii mendapat dukungan penuh dari mereka dan Bii sangat-sangat bersyukur untuk itu.”

Semakin telak hatinya dihujam. Sang putri begitu disayangi di sini, tetapi dirinya, yang ibu kandungnya bahkan tak pernah sedikit pun ada untuk Bii saat dibutuhkan.

“Kalau boleh, Bu. Bii mohon, biarkan Bii tetap tinggal di sini. Bii tidak mau pulang, Bii belum siap kembali ke sana.” Mata Inbihaaj kembali basah sebab air mata.

“Iya, tidak apa-apa, Inbihaaj. Kamu bisa tinggal di sini selama mungkin, selama yang kamu butuhkan, Ibu izinkan. Tapi … jangan lupakan Ibu, ya? Kunjungi Ibu sesekali nantinya, cuma kamu yang Ibu punya sekarang ini.” Wanita itu kembali menunduk, menyusut hidung yang berair. “Kedengarannya egois ya, Bii?”

“Bii akan!” Ucapan tegas Bii membuat sang ibu kembali mengangkat wajah, memandangnya. Senyum Bii tersungging lebar. “Bii pasti akan selalu mengunjungi Ibu, berziarah ke makam Ayah. Bii tidak akan lupa, Bii janji.”

Allah, apa yang telah ia perbuat kepada sang putri selama ini? Bahkan saat sedemikian hatinya dilukai, Bii masih bisa tersenyum padanya.

“Juga ….” Bii menatap lekat sang ibunya. “Bii mohon restu, Bu.”

Pangkal alis ibu Bii tertaut.

Inbihaaj lantas mengangsurkan tangan kanannya, menggenggam tangan sang ibu, membuatnya leluasa memandangi jari-jari putrinya. Melihat benda mengkilap melingkar di jari manis Bii, mata wanita itu berbinar.

“Kamu mau menikah?”

Bii mengangguk, tersenyum. “Tidak sekarang. Bii harus meminta restu Ayah dulu, kan?”

Gratia DeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang